Bab 15. Terlupakan

165 10 1
                                    


"Maaas... akhirnya kamu pulang juga."

Apa? Mas? Siapa yang meminta Lavina memanggilnya 'mas'?

Auriga berhenti melangkah di ambang pintu rumahnya, saat Lavina berseru dengan wajah ceria sembari menghampirinya.

Auriga tercengang melihat penampilan Lavina yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari penampilan biasanya.

Biasanya, Lavina selalu mengenakan kaos atau hoodie kedodoran dipadukan dengan celana jeans atau celana pendek rumahan, yang membuat gadis itu tampak seperti anak SMA.

Namun, pagi ini, Lavina terlihat feminin dengan dress putih selutut, berlengan panjang tapi kainnya transparan di bagian lengan. Sebagian rambutnya diikat di belakang kepala dengan aksen pita, sebagiannya lagi dibiarkan tergerai ke bawah bahu.

"Mas, kamu pasti capek. Ayo masuk." Lavina tersenyum lebar sembari menggandeng lengan Auriga.

Bik Nimah menghampiri untuk mengambil koper sang majikan dan membawanya ke dalam rumah.

Auriga menatap Lavina dengan kening berkerut, ia masih belum mengerti dengan keadaan ini. Apa selama ia pergi ada sesuatu yang terjadi di rumahnya?

"Ayo, nunggu apa lagi, hem?"

Dengan nada dingin, Auriga berkata, "Kenapa penampilan kamu jadi kayak gini? Menurut saya baju ini jadi aneh di kamu, nggak cocok! Terus siapa yang nyuruh kamu manggil saya—"

"Mommy, Daddy, sama Kak Cassie udah nungguin di dalam, lho," sela Lavina, bibirnya masih tersenyum, tapi tatapan matanya berubah tajam seakan-akan sedang mengingatkan Auriga bahwa mereka harus berhati-hati saat berinteraksi, supaya keluarganya tidak mencium aroma rumah tangga di atas kertas.

Ah.... Sekarang Auriga mengerti kenapa Lavina memanggilnya mas. "Oh, begitu ya? Baiklah, ayo masuk."

Auriga merangkul bahu Lavina dan membawanya masuk ke ruang keluarga yang tampak ramai. Orang tua dan adiknya sedang menatap ke arahnya, mereka semua pasti mendengar suara Lavina saat menyambutnya barusan.

Auriga menyalami orang tuanya, lalu mendekati Aurora dan mengecup puncak kepala anak itu.

"Maaf, Daddy nggak menepati janji Daddy untuk pulang tadi malam," bisik Auriga seraya berjongkok di depan Aurora dan menggenggam tangan mungilnya, lalu mengecup punggung tangan itu dengan mesra.

Raut muka Aurora tampak sendu, ia menepis tangan Auriga, lalu pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa. Auriga menghela napas berat, rasa bersalah seketika menyelimuti hatinya.

Andai semalam ia tidak....

"Ada yang terjadi antara kamu sama Aurora, Bang?" Pertanyaan Gendarly, ibunya, membuat pikiran Auriga buyar.

"Yah, begitulah, Mom." Auriga menatap Aurora yang berlari menaiki tangga. Ia akan membujuk dan meminta maaf kepada putrinya nanti.

"Pantes aja dari tadi Aurora pendiem banget. Ada apa?"

Auriga tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan ibunya. Tidak mungkin ia jujur dan bilang bahwa Aurora marah karena ia telat pulang gara-gara tidur dengan wanita, bukan?

"Semalam Aurora udah nyiapin kejutan buat nyambut Mas Auriga, Mom." Lavina akhirnya angkat suara. "Tapi penerbangan dari Sydney sempat delay beberapa jam, jadi Mas Auriga baru sampai pagi ini. Iya, 'kan, Mas?!"

Auriga tertegun dan menatap Lavina yang tersenyum ke arahnya. Ia sama sekali tidak menyangka Lavina akan membelanya alih-alih menyalahkannya di depan orang tua.

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang