Bab 9. Sugar Baby

247 16 4
                                    

Lavina memandangi Aurora yang tengah terlelap di pelukan Auriga. Ia menghela napas panjang. Di saat seperti ini, Lavina baru merasakan bahwa tugasnya sebagai seorang ibu sambung ternyata cukup berat.

Tidak adanya pengalaman mengurus seorang anak membuat Lavina merasa dirinya tidak mampu menjadi ibu yang baik.

Namun, Lavina berjanji kepada dirinya sendiri, ia akan melakukan sebisa yang ia mampu. Niatnya mau menikah dengan Auriga selain karena butuh tempat untuk berlindung dari keluarga tirinya, Lavina juga ingin membantu dan menemani Aurora.

Jika ia sulit berperan sebagai seorang ibu, ia bisa menjadi teman bagi Aurora.

"Ayo turun," gumam Auriga, sebelum ia turun sambil menggendong Aurora yang masih terlelap di pangkuan.

Lavina mengangguk. Ia ikut turun dan memasuki rumah Auriga.

"Tunggu di sini. Saya ke kamar Aurora dulu."

Sekali lagi Lavina mengangguk dan duduk di sofa sambil memperhatikan punggung bidang Auriga yang perlahan menjauh.

"Selamat siang, Nona, mau minum apa?" tanya seorang wanita yang datang menyapa.

"Eh?!" Lavina terkejut. "No-Nona?"

Wanita paruh baya itu tersenyum ramah. "Ada jus buah, teh manis, kopi dan minuman bersoda."

Lavina meringis sembari mengusap tengkuk. Rasanya terdengar aneh ia dipanggil nona, padahal dirinya hanyalah gadis miskin, yang kebetulan memiliki keberuntungan menikah dengan pria kaya.

Lavina lantas menyebutkan minuman yang ia inginkan. Pekerja rumah tangga Auriga itu pun berlalu ke dapur.

Ponsel Lavina berbunyi. Ia mengeluarkan ponsel dari ransel lusuhnya yang sudah dipakai selama dua tahun.

Mawar mengirim pesan.

Lavina, sayang, kamu masih di hotel ya? Begini, mama lagi di supermarket lagi beli belanja bulanan, tapi uang mama nggak cukup. Bisa kamu kirim uang 1 juta ke mama sekarang? Kalau kamu nggak punya, minta aja sama suami kamu. Oke?

Lavina tertawa miris.

Sayang?

Sepertinya ibu kota akan diguyur hujan deras dan petir menyambar-nyambar karena Mawar memanggil Lavina dengan panggilan sayang. Sesuatu yang tak pernah Mawar lakukan sebelumnya.

"Lavina, ikut saya!"

Suara bariton Auriga dari tangga membuat Lavina mendongak. "Baik!" serunya, ia memasukkan ponsel ke tas dan menjinjing tasnya itu sambil menghampiri Auriga.

"Bik Nimah, antar minumannya ke kamar dia. Lalu siapkan makan siang untuk kita!" titah Auriga, yang langsung diiyakan pekerja rumah tangganya itu.

Auriga masih berdiri di anak tangga teratas sembari bersedekap dada. Tatapan Auriga yang datar membuat Lavina salah tingkah karena merasa setiap langkahnya diawasi.

"Ada... apa?" tanya Lavina saat ia sudah berdiri di samping Auriga. Ia harus mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka yang cukup jauh.

"Ini kamar Auora, kamu pasti sudah tahu." Auriga menunjuk pintu bercat putih dan papan nama Aurora yang menggantung di sana.

Lavina mengangguk. "Iya, aku tahu."

"Yang di sebelah kanan, itu kamar saya." Kali ini Auriga menunjuk pintu di sebelah kanan kamar Aurora.

Sekali lagi Lavina mengangguk mengerti. Apa itu artinya, aku juga bakal tidur di kamar itu?

"Kamar kamu ada di situ," lanjut Auriga, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan di kepala Lavina.

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang