Bab 13. Janji Yang Tak Ditepati

175 13 6
                                    

Auriga keluar dari kokpit pesawat dengan langkah mantap. Wajahnya dipenuhi kepuasan setelah berhasil menyelesaikan penerbangan dengan sukses.

Dia melepas topi pilotnya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat topi itu.

Sementara matahari perlahan turun ke cakrawala, dia menyusuri lorong bandara menuju terminal.

Di sampingnya, tas pilotnya yang setia menemani setiap penerbangan diajaknya pergi.

"Capt!"

Seseorang yang memanggilnya membuat langkah Auriga terhenti. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Arnold sedang berjalan tergesa menghampirinya.

Arnold adalah co-pilot yang membersamai Auriga dalam penerbangan kali ini. Dia lelaki berkebangsaan Australia dan usianya lima tahun lebih muda dari Auriga. Pembawaannya selalu tampak ceria.

"Setelah ini kau mau langsung kembali ke Indonesia?" tanya Arnold dalam bahasa Inggris sembari tersenyum lebar.

"Ya, penerbangan ke Jakarta tiga jam lagi." Auriga melirik arloji, bahkan ia tidak punya waktu untuk kembali ke apartemen lebih dulu.

"Kalau begitu, apa kau punya waktu minum kopi denganku?"

"Kau yang traktir?"

"Oh, tentu saja! Bahkan kau bisa memilih kopi yang termahal."

Auriga tertawa sembari menepuk keras lengan Arnold. "Aku bercanda. Ayo."

Keduanya berakhir di sebuah café yang ada di terminal kedatangan. Arnold termasuk salah satu teman yang cukup dekat dengan Auriga. Bahkan Arnold tidak segan-segan mengatakan bahwa dirinya adalah fans berat Auriga, yang selalu mengaguminya setiap kali mereka ada di penerbangan yang sama.

"Capt, kau masih ingat pramugari baru yang bergabung dengan tim kita?" tanya Arnold setelah barista mengantarkan kopi pesanan mereka ke meja.

Auriga mengangguk, menghidu aroma kopinya sejenak sebelum menyeruputnya. "Aku ingat wajahnya, tapi lupa namanya."

"Margareth namanya. Kudengar ibunya orang Indonesia."

"Ooh...."

"Bagaimana menurutmu? Dia sungguh menarik, bukan?" Air muka Arnold tampak berseri-seri.

Satu sudut bibir Auriga terangkat. "Iya, dia cantik sekali, bukan hanya penampilannya yang menawan, tapi juga senyumnya yang membuatmu tersenyum balik."

"Whoaa... seperti biasa, kau selalu jujur kalau ditanya soal perempuan." Arnold tertawa hingga bahunya berguncang.

Auriga hanya tersenyum kecil, punggungnya bersandar di kursi. Ia sempat menatap topi pilotnya di atas meja. Kopi membuat rasa lelahnya sedikit berkurang. Mungkin di pesawat nanti, saat pulang ke Indonesia, ia akan tidur untuk menghilangkan rasa kantuknya.

"Hanya satu kali lihat saja aku langsung menyukai Margareth," lanjut Arnold, "tapi rupanya dia menyukaimu, Capt, dia tidak berhenti memandangimu sejak tadi."

"Memandangiku?" tanya Auriga dengan satu alis terangkat.

"Ya. Kau lihat saja sendiri."

Arnold menunjuk ke arah kanan café dengan lirikan mata, membuat Auriga secara spontan mengikuti arah yang ditunjuk Arnold.

Di dekat jendela sana terlihat wanita cantik bernama Margareth sedang duduk bersama dua pramugari lainnya. Margareth langsung memalingkan muka dengan pipi tersipu saat Auriga menatapnya.

Meski sedikit jauh, Auriga masih bisa melihat senyuman lembut terukir di bibir wanita berkulit putih itu.

Auriga balas tersenyum saat Margareth kembali menatapnya.

"Capt, kau tahu? Senyumanmu itu bisa membuat lutut Margareth bergetar."

"Aku tahu."

Arnold mendecakkan lidah. "Makanya jangan menggodanya. Kau sudah punya istri. Biarkan Margareth untukku."

Auriga hanya mengedikkan bahu sebagai tanggapan darinya. "Aku tidak menggoda dia, hanya berusaha bersikap ramah."

"Tapi sikap ramahmu akan disalah artikan oleh wanita."

"Itu salah mereka karena menaruh harapan padaku."

***

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika Lavina dan Bik Nimah sibuk dengan balon huruf warna emas yang sedang ditiup menggunakan alat pompa. Semua huruf itu akan membentuk kalimat welcome home, jika disatukan di dinding nanti.

Sedangkan Aurora tampak riang saat menerbangkan balon warna merah yang diisi gas helium, hingga balon-balon itu memenuhi plafon ruangan keluarga.

"Mommy, Daddy bakal suka nggak ya sama kejutan dari kita?!"

"Oh jelas dong! Saat Daddy datang nanti, Mommy yakin banget Daddy bakal tercengang dan terkejut lihat kejutan ini!" jawab Lavina dengan semangat. Ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya, tapi demi membuat Aurora senang ia harus menjawabnya seriang mungkin.

Auriga pun pasti demikian, pikir Lavina. Seorang ayah pasti tidak mau membuat putrinya sedih. Meski Auriga tidak cukup senang atau terkejut dengan kejutan ini, setidaknya Auriga pasti akan berpura-pura bahagia.

Mendengar jawaban Lavina, Aurora tampak semakin ceria. Dia menerbangkan balon satu persatu sambil berlari-lari kecil dan bersenandung riang.

Pukul tujuh malam, Pak Amir—sopir keluarga Auriga, datang membawa dua box pizza dan kue yang dipesan Lavina, atas inisiatif Aurora yang tahu makanan kesukaan ayahnya adalah pizza.

Lavina menata pizza dan kue tart di atas meja yang terletak di bawah tulisan welcome home yang menempel di dinding. Bik Nimah membawa beberapa jenis minuman dan menaruhnya di meja tersebut.

"Mommy, aku udah cantik belum?" Aurora berlari menghampiri Lavina, lalu memutar tubuhnya hingga dress princess-nya ikut berputar.

"Sangaaaat cantik!" Lavina mengangkat dua ibu jarinya. "Daddy pasti bangga punya anak secantik kamu."

"Sungguh?!"

"Hm!"

Tawa Aurora seketika terdengar renyah memenuhi ruangan keluarga. Hari ini anak berusia 5 tahun itu tampak lebih ceria daripada hari-hari sebelumnya. Sebab ia senang karena hari ini ayahnya akan pulang

Lavina mengerti perasaan Aurora, anak itu sangat merindukan ayahnya yang tidak pulang hampir satu bulan.

Lavina juga tahu bagaimana rasanya merindukan sosok ayah, apalagi... saat sang ayah tak akan pernah kembali lagi. Bahkan, Lavina tidak pernah melihat jasad ayahnya untuk terakhir kalinya. Jasadnya hilang ditelan lautan saat pesawat jatuh menerjang laut.

"Seharusnya Daddy sudah mendarat jam setengah delapan," ucap Lavina sembari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 20.40.

"Kemarin kata Daddy, Daddy bakal sampai di rumah jam setengah sepuluh malam, Mom."

Lavina mengangguk mengiakan. Terakhir kali Auriga menelepon Aurora adalah kemarin malam.

Keduanya menunggu sambil menonton film kartun di televisi. Hingga tak terasa waktu sudah berlalu satu jam....

Dua jam....

Aurora sudah menguap berkali-kali.

"Kok, Daddy belum sampe-sampe ya, Mom?" tanya Aurora tak sabaran sembari menggeliatkan tangannya ke atas.
***
To be continued.

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang