BAB 7. Malam Pertama

383 21 5
                                    


"Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa." Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.

"Apa?!" Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. "Tapi... kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?"

Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.

"Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa 'kan, Mom, Dad?

Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!

Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.

"Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?" tanya Auriga dengan suara lembut.

Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. "Iya, Dad."

"Tapi...," sela Lavina, "gimana kalau kamu tidur sama—"

"Aurora, ayo, Sayang!" seru Gendarly yang berjalan mendekati mereka, membuat ucapan Lavina terpotong.

"Baik!" seru Aurora dengan lantang. "Daddy, turunin aku."

Auriga menurut. Ia sempat mengecup kedua pipi Aurora sebelum menurunkannya. Aurora segera berlari menghampiri Gendarly.

"Istirahat ya. Kamu pasti lelah seharian berdiri di pelaminan," ucap Gendarly sembari mengusap bahu Lavina.

Meski pikirannya sedang rumit memikirkan ia harus sekamar dengan lelaki asing yang sudah berganti status menjadi suaminya, Lavina tetap tersenyum lebar dan mengangguk. "Iya, Mom. Mommy juga istirahat ya."

Setelah berpisah dengan Aurora dan ibu mertuanya, mau tak mau Lavina mengikuti Auriga ke kamar mereka. Acara sudah selesai satu jam yang lalu. Tulang dan persendian tubuh Lavina terasa pegal. Rasanya ingin sekali merebahkan diri di kasur.

"Kenapa Om nggak mencegah Aurora biar nggak tidur sama Mommy?"

"Memangnya kenapa saya harus mencegah?" Auriga bertanya balik sembari menempelkan kartu untuk membuka pintu setibanya di depan pintu kamar mereka.

Lavina melangkah masuk setelah pintunya terbuka dan membiarkan pintu itu menutup dengan sendirinya. "Ya... i-itu biar kita bisa tidur bertiga!"

"Dan mengganggu malam pertama kita?"

"Hah?!" Lavina terkesiap. "Ma-malam pertama? Kenapa harus ada malam pertama?"

"Kita sudah jadi suami istri."

Auriga melepas jas hitamnya dan melemparnya ke sofa, kemudian melepas kancing kemeja putihnya.

Mendengar ucapan terakhir pria itu, lutut Lavina mendadak gemetar. "Bukannya pernikahan kita cuma bisnis aja? Nggak harus ada aktifitas itu, 'kan? Nikahnya cuma status doang, 'kan? Iya, 'kan?!!" Lavina berdiri di depan Auriga dengan mata membulat, panik.

Satu sudut bibir Auriga terangkat. "Dalam perjanjian nggak ada poin yang menyebutkan kalau kita nggak boleh berhubungan badan."

Lavina semakin cemas. Lehernya mendadak terasa seperti dicekik. Bagaimana ini? Dia lupa tidak menambahkan poin tersebut sebelum perjanjian itu ditandatangani. "Kalau gitu aku tambahin sekarang! Kita nggak boleh berhubungan selama menikah!"

"Terlambat."

Wajah Lavina memucat. Ia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Auriga menanggalkan kemejanya, hingga terlihat tubuhnya yang dipenuhi otot yang keras.

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang