Bab 18. Fitnah

186 5 3
                                    


"Saya nggak mencuri dompet Anda, Pak!" sergah Lavina dengan geram. Dia akan kembali berbicara tapi terhenti saat Auriga tiba-tiba merangkul bahunya. "Om?"

"Kita bicara dulu." Suara Auriga terdengar rendah seraya menunduk, menatap Lavina yang terlihat berapi-api.

Lavina mengembuskan napas dengan kasar, lalu mengangguk dan mengikuti Auriga menjauhi kerumunan itu. Aurora ikut menghampiri mereka dengan raut muka penuh kebingungan.

Pada saat yang sama, dua orang polisi datang.

"Saya yang manggil polisi!" seru wanita paruh baya itu, istri si lelaki tua. "Kasus ini akan saya bawa ke jalur hukum!"

Auriga melepaskan tangannya dari bahu Lavina, berdiri di hadapan gadis itu dengan tatapan butuh penjelasan. "Benar yang laki-laki itu bilang?" tanyanya dengan tenang.

Seketika Lavina mendongak. "Maksud Om?" Keningnya mengernyit. "Kata laki-laki itu? Maksudnya aku mencuri dompet dia gitu?"

"Bukan gitu," sanggah Auriga, "benar dia melecehkan kamu? Karena saya tahu siapa laki-laki itu. Dia seorang direktur perusahaan yang kerjasama dengan perusahaan Daddy. Jadi... menurut saya mungkin ada kesalahpahaman di sini, coba ingat-ingat lagi apa yang terjadi tadi. Karena orang sepenting dia nggak mungkin gegabah melakukan sesuatu, apalagi di tempat—"

Ucapan Auriga seketika terhenti saat Lavina tiba-tiba mendorong dadanya dengan ekspresi keruh di wajahnya. Auriga terhenyak melihat sorot mata gadis itu tampak marah dan terluka.

"Minggir! Aku mau lewat," desis Lavina.

Auriga mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. Ia sungguh tak memahami jalan pikiran gadis kecil ini. "Lav...."

"Ternyata Om sama aja ya. Di mata Om orang berduit itu selalu benar, sedangkan orang kayak aku selalu salah!"

Ucapan Lavina membuat Auriga merasa tertampar. Ia terdiam.

Sementara itu Lavina mendekati kerumunan dan mengulurkan kedua tangannya ke hadapan polisi. "Bapak mau nangkap saya, 'kan? Silahkan bawa saya ke kantor polisi. Saya akan membuktikan di sana kalau saya nggak bersalah."

***

"Tidak ada saksi mata, tidak ada kamera CCTV di area sekitar toilet, yang bisa membuktikan argumen kamu. Dengan kata lain, kamu nggak punya barang bukti," ujar seorang polisi yang duduk di hadapan Lavina.

Lavina mengembuskan napas berat. Jadi percuma saja ia menjelaskan panjang lebar mengenai apa yang sebenarnya terjadi, kepada polisi, jika ujung-ujungnya mereka tidak bisa menerima pembelaannya.

Kantor polisi itu tampak sibuk. Orang yang diduga tersangka sebuah kasus bukan hanya Lavina sendiri. Ada dua anak SMA sedang diinterogasi di meja paling ujung sebelah kanan. Dan seorang lelaki bertubuh kekar yang dipenuhi tato di meja sebelah kiri Lavina, yang sama-sama sedang diinterogasi.

Lavina merasa ngeri. Ia mengusap tengkuk dan menatap Pak Polisi kembali.

"Jadi sekarang saya tersangka ya, Pak?" tanya Lavina dengan lesu. "Berapa lama saya harus di penjara? Di penjara makanan gratis, 'kan? Saya nggak perlu ngeluarin banyak uang buat biaya hidup setiap bulan, 'kan?"

Satu alis polisi itu terangkat. "Ya," jawabnya dengan ekspresi sedikit geli.

"Enak sekali...," gumam Lavina seraya mengacak rambut. Ia sedang menghibur diri sendiri, bahwa saat di penjara nanti setidaknya Lavina tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya hidupnya.

Sang polisi terperangah mendengar gumaman Lavina. Mungkin dia pikir, sosok gadis di hadapannya itu sungguh aneh.

Lavina kemudian menoleh ke arah pria tua yang sudah melecehkannya. Pria yang hidungnya masih disumpal tisu itu tersenyum manis yang dibuat-buat. Lavina yang melihatnya merasa muak dan ingin muntah, ia mencebikan bibirnya dengan sinis.

Sedangkan si istri pria itu terus mengawasi Lavina dengan mata kucingnya seolah-olah khawatir Lavina akan kabur.

Pada saat yang sama, Lavina melihat Auriga yang baru saja masuk. Sosoknya terlihat tenang dan penuh karisma saat sedang berjalan. Bahkan, semua pria di ruangan ini tidak ada yang mampu menandingi pesonanya.

Ugh! Lavina benci dengan fakta itu. Ia segera memalingkan muka dengan ketus saat Auriga menatapnya. Apa yang Auriga ucapkan tadi saat masih di depan toilet mall, membuat harga diri Lavina terluka.

Ucapan Auriga sama saja dengan dia menganggap bahwa Lavina telah mencuri dompet si pria tua itu.

"Pak Tony, bisa kita bicara sebentar?" tanya Auriga pada pria tua yang melecehkan Lavina.

Lavina mendelik. Ia pikir, Auriga akan menghampirinya dan membebaskannya dari kasus ini, tapi ia kecele.

Emang paling bener jangan berharap sama manusia, gerutu Lavina dalam hati.

"Kalau kamu mau membujuk saya untuk membebaskan keponakan kamu ini, saya tidak mau!" sergah Tony.

Keponakan?

Lavina tersenyum sinis saat Auriga meliriknya. Senyuman Lavina seolah-olah ingin menegaskan bahwa Auriga sudah tua sampai-sampai dianggap sebagai pamannya.

"Ini masalah lain, Pak Tony. Sesuatu yang sangat penting," bujuk Auriga lagi.

Akhirnya Tony beranjak dari kursinya dan mengikuti Auriga keluar dari ruangan.

Apa-apaan ini? Mereka mau bersekongkol buat nyudutin aku?

Walau tampak tenang, tapi Lavina berisik di dalam hati. Ia penasaran, apa sesuatu yang sangat penting itu yang akan mereka bicarakan?

Lihat saja, jika Auriga memang bersekongkol dengan Tony, maka Lavina tidak akan tinggal diam. Dia akan membeberkan semua tentang pernikahan mereka yang hanya sebatas perjanjian kepada orang tua Auriga.

Beberapa menit kemudian, Auriga dan Tony kembali ke dalam ruangan. Ada yang berbeda dengan ekspresi Tony kali ini, air mukanya tampak keruh dan kepalanya sedikit tertunduk lesu.

Tanpa di duga-duga, secara tiba-tiba pria tua itu berdiri di samping Lavina dan mengaku kepada polisi bahwa Lavina tidak bersalah. Lavina tidak mencuri. Memang benar dia yang melecehkan Lavina dengan memegangi bokongnya dan memaksanya masuk ke toilet wanita yang sedang sepi.

Lavina tercengang mendengar pengakuan itu.

Sang polisi terkejut.

Sementara itu, si istri seketika marah dan memukul kepala Tony menggunakan tas bermereknya sambil memarahinya, seperti singa betina yang mengamuk.

Lavina kemudian menoleh pada Auriga yang berdiri dengan tenang sambil menyembunyikan tangan di saku celana.

Aku sudah salah menilai dia, batin Lavina sembari memandangi pria itu dengan pikiran berkecamuk.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang