Sejak awal, Lavina tidak ingin menaruh harapan apa-apa pada Auriga. Ia juga tidak berharap menjadi istri sungguhan dari pria yang terlihat hangat—saat bersama keluarganya, tapi misterius itu.
Namun, secara tiba-tiba, perasaan kecewa hadir begitu saja ketika mendapati fakta bahwa hanya Lavina seorang, di dalam keluarga itu, yang tidak mendapatkan hadiah dari Auriga.
Masalahnya bukan terletak pada apa hadiahnya, toh Lavina tidak ingin apa-apa. Akan tetapi ia merasa dikecualikan dan seolah-olah dirinya tidak terlihat di mata pria itu.
Suasana di ruangan keluarga yang semula hangat mendadak kaku setelah Cassie bertanya, "Lho? Habis? Terus buat Lavina kok nggak ada?"
Auriga seketika terdiam dan menatap Lavina dengan tatapan yang sulit dipahami.
Lavina tahu, Auriga pasti lupa atau mungkin tidak berniat sama sekali memberikan hadiah untuknya. Dan itu tidak masalah.
Ya, tidak masalah.
Tidak apa-apa 'kan, jika Lavina membohongi hatinya sendiri?
"Bang?!" sentak Cassie, membuat Auriga seketika keluar dari keterdiamannya.
Auriga menghela napas berat seraya mengusap tengkuk. "Itu—"
"Kakak, sebenarnya aku malu bilang gini, tapi...," sela Lavina sembari menyengir kecil. "Mas Auriga bilang kalau hadiah buat aku itu spesial, jadi dia udah ngasih ke aku waktu di kamar tadi." Lavina berdusta hanya untuk menyelamatkan nama Auriga di depan keluarganya.
Setelah mendengar ucapan Lavina, Auriga tampak terkejut dan langsung menatap Lavina dengan mata sedikit melebar. Rahangnya berkedut. Mulutnya bungkam.
"Oh? Serius?" Cassie tampak senang saat Lavina mengangguk sembari tersenyum lebar. "Syukurlah.... Aku kira dia lupa. Tadinya, kalau dia lupa ngasih hadiah buat kamu, dia bakal aku tendang sekarang!"
Lavina tertawa hingga matanya menyipit. "Kakak ada-ada saja." Lalu ia melirik Auriga yang ternyata masih menatapnya dalam diam.
***
Di malam yang sunyi, Lavina duduk sendirian di tepian kolam renang, di bawah langit yang diterangi purnama.
Celananya digulung sampai ke lutut dan menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air, menimbulkan riak di sekitar betisnya.
Headphone putih menutupi kedua telinga. Wajahnya mendongak, matanya terfokus pada bulan yang bersinar terang di antara awan-awan malam, sambil bersenandung pelan mengikuti lirik lagu yang sedang mengalun dari headphone.
Meski cahaya bulan menerangi sekelilingnya, hatinya terasa hampa, seakan bulan yang begitu jauh itu adalah satu-satunya teman dalam kesendirian malamnya.
Saat sedang asyik bernyanyi, tiba-tiba Lavina berjengit kaget ketika seseorang melepas headphone dari kepalanya.
Lavina mendongak ke samping, matanya seketika membulat lebar.
"Om? Ngapain? Ganggu aja!" gerutunya dengan bibir cemberut.
"Dari tadi saya manggil-manggil kamu, tapi kamu nggak nyahut-nyahut." Auriga mendengus menatap headphone di tangannya. "Pantas saja, telinga kamu disumpal ternyata."
"Balikin headphone aku!"
Alih-alih mengembalikan, Auriga justru malah memasang alat tersebut di telinganya. Ia mendengarkan musik yang masih mengalun, dahinya mengernyit, lalu melepaskan headphone itu dan menyerahkannya pada Lavina.
"Lagu apa ini? Aneh," ujar Auriga dengan nada mencibir.
"Kalau nggak tahu nggak usah nyinyir. Lagu ini tu spesial banget buat aku." Baginya, semua lagu-lagu BTS itu spesial, karena selalu menjadi teman di kala sendiri dan membuat hari-harinya penuh semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cassanova Husband
Roman d'amourLavina Vanessa, gadis berusia 20 tahun, yang ceria dan sedikit kekanak-kanakan tiba-tiba terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah dia bayangkan. Sang suami, Auriga Space Ivander, adalah seorang pilot tampan berusia 30 tahun yang memiliki pesona C...