Bab 3. Rumah Asing

268 13 3
                                    

"Tante, em... maksud aku Mommy, ayo kita pulang ke rumah!"

"Hah?!"

Lavina ternganga. Mulutnya terbuka untuk bicara, tapi melihat tatapan Aurora yang mengiba, lidah Lavina mendadak terasa kelu. Bibirnya mengatup lagi, lalu menatap Auriga, seolah-olah lewat tatapan itu ia ingin bilang apa yang harus saya katakan?

Sejak awal melihat Aurora, Lavina merasa kasihan karena anak ini tampak ketakutan saat melihat orang lain.

Lavina melihat Auriga mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, Auriga berkata kepada putrinya bahwa Lavina bukanlah ibunya. Auriga meminta Aurora untuk melepaskan pelukannya.

Namun, tanpa diduga-duga, tangisan Aurora malah semakin kencang. Aurora menolak dipeluk ayahnya dan memilih untuk menangis berguling-guling di lantai seperti anak sedang tantrum.

Melihat pemandangan itu, hati Lavina yang sehalus kapas ikut merasakan sakit. Ia pernah berada di posisi Aurora, yang ingin sekali bertemu dengan ibu kandung yang tak pernah Lavina lihat seumur hidup.

Sementara itu Aurora masih mengamuk kendati Auriga sudah berhasil menggendongnya. Aurora terus meronta, meminta turun. Auriga kewalahan hingga ia menyerah dan menurunkan Aurora kembali.

Tanpa berpikir dua kali, Lavina segera menghampiri Aurora, memeluknya sambil berbisik, "Iya, ayo kita pulang. Maafin Mommy ya baru datang sekarang."

Itu kata-kata yang ingin Lavina dengar dari ibu kandungnya meski hanya satu kali. Sayang, Lavina tak pernah mendengarnya.

Tangisan Aurora seketika terhenti. Napasnya tersengal-sengal, mata coklat terangnya menatap Lavina dengan sendu.

"Mommy," lirih Aurora.

Lavina tersenyum lembut, tangannya mengusap pipi Aurora yang bersimbah air mata. "Nggak capek emangnya nangis terus?"

Bibir Aurora cemberut. Dia tidak berbicara lagi, hanya memeluk Lavina dengan erat.

Kemudian Lavina membawa Aurora duduk di kursi, di samping Auriga yang sedang memijat pelipis. Lavina melihat pria itu tampak frustrasi menghadapi anak ini.

"Aurora," panggil Auriga setelah beberapa saat ia terdiam.

"Iya, Dad?"

"Sekali lagi Daddy tegaskan, perempuan ini bukan-" Auriga mengembuskan napas kasar dan berhenti bicara saat wajah Aurora kembali murung dan terlihat siap menangis. Auriga mengusap wajahnya dengan kasar.

"Dia bener-bener mommy aku, Dad, dan mommy mau kok pulang ke rumah."

"Apa?" Auriga menatap Lavina dengan mata dipicingkan, seolah sedang protes melalui tatapan tajamnya itu.

"Cuma itu satu-satunya cara, 'kan?" gumam Lavina.

"Kamu sengaja meracuni pikiran anak saya?" Auriga balas berbisik.

Lavina mendelik. "Udah dibantuin bukannya berterima kasih malah nuduh yang nggak-nggak." Seketika Lavina menyesal sudah membantu menenangkan putri laki-laki tua di sampingnya ini.

Auriga mendengus. Laki-laki itu seperti ingin mengatakan sesuatu dengan ekspresi jengkelnya pada Lavina, tapi Auriga hanya membuang muka setelah menatap Aurora sebentar.

"Dad, ayo kita pulang. Aku nggak marah liburannya batal, asal Mommy ikut bareng kita pulang ke rumah," celetuk Aurora dengan polos, yang membuat Auriga memejamkan matanya dengan geram.

***

Mobil baru saja berhenti melaju. Lavina terperangah melihat rumah mewah tiga lantai di hadapannya. Sudah ia duga, laki-laki bernama Auriga itu bukan orang sembarangan, dia kaya raya.

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang