Bab 11. Jangan Memanggil Om

195 13 1
                                    


"Bagaimana? Apa Daddy sudah terlihat seperti seorang pilot sejati?"

"Hm! Seragam itu bikin Daddy terlihat seperti pahlawan di film-film! Aku bangga sama Daddy!"

Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Aurora saat mendengar percakapan ayah dan anak itu yang samar-samar karena pintunya tertutup.

Tawa Auriga terdengar menggema. "Daddy sayang kamu, bahkan jauh lebih sayang dari apapun di dunia ini. Ingat itu baik-baik, hm?"

"Iya, Daddy. Aku tahu. Aku juga sayang Daddy! Cepat pulang lagi ya, Dad!"

"Hmm...."

Suasana di dalam kamar tiba-tiba hening. Lavina yakin di dalam sana, Auriga sedang memeluk putrinya sebelum berpisah untuk beberapa minggu ke depan.

Pintu tiba-tiba terbuka. Lavina terkejut tapi tidak bisa menghindar atau pergi dari sana dalam waktu sepersekian detik.

Oh, sungguh! Auriga pasti mengira Lavina sedang menguping, walau kenyataannya memang begitu.

"Oh? Sedang apa kamu di sini?" tanya Auriga dengan ekspresi datar saat sosoknya muncul di pintu dengan seragam pilot, lengkap dengan topi dan ikat pinggang.

Lavina tercengang saat pandangannya tertuju pada Auriga, matanya memancarkan kekaguman yang mendalam.

Dalam seragam pilot itu, Auriga terlihat begitu gagah dan penuh keyakinan. Lelaki yang selama ini ia kenal sebagai ayah yang hangat untuk Aurora, kini memiliki aura yang berbeda.

Lavina merasa seolah-olah ia sedang melihat Auriga dari sudut pandang yang baru, sebagai seorang pria yang membawa tanggung jawab besar dalam dunia penerbangan.

Dunia penerbangan.

Menyadari dua kata itu muncul dalam pikirannya, wajah Lavina seketika memucat. Melihat Auriga berpakaian pilot dan dunia apa yang lelaki itu geluti, menyadarkan Lavina pada peristiwa pilu beberapa tahun silam, yang membuatnya kehilangan sosok ayah.

Andai hari itu ayahnya tidak pergi bekerja....

Andai hari itu ayahnya tidak memaksa beralih dari transportasi darat ke pesawat, saat ini, detik ini Lavina mungkin masih bisa melihat wajah teduh ayahnya dan senyumnya yang selalu menenangkan hati.

Wajah Lavina semakin pucat, kakinya tremor. Samar-samar Lavina mendengar suara Auriga yang memanggil namanya. Suara itu terasa cukup jauh, tapi semakin lama terdengar semakin dekat, hingga Lavina tersadar sepenuhnya saat Aurora mengguncang tangannya.

"Kamu sakit?" tanya Auriga dengan pandangan menelisik.

"Huh? Ah... nggak! Nggak! Nggak apa-apa." Lavina mengibaskan tangan sembari tertawa yang dibuat-buat. Lalu ia tersenyum lembut pada Aurora yang memegang tangannya dan berdiri di samping.

Aurora menatapnya dengan tatapan khawatir.

"Aurora, Mommy nggak apa-apa. Oke? Jangan khawatir."

"Tapi wajah kamu pucat," timpal Auriga. Aurora mungkin bisa dibohongi, tapi Auriga tidak "Kalau merasa nggak enak badan, pergi ke dokter minta diantar sama sopir. Kamu belum bisa nyetir mobil sendiri, kan?"

Alih-alih menanggapi, Lavina memilih untuk mengambil ransel kecil di tangan Auriga, yang membuat pria itu tampak sedikit terkejut.

"Om, mau pergi sekarang?"

"Iya. Kembaliin tas saya. Kamu siap-siap saja pergi ke dokter." Auriga bicara masih dengan ekspresi datarnya.

"Nggak usah, aku aja yang bawa. Ayo buruan turun, entar Om telat. Aku 'kan istri Om, seorang istri harusnya kayak gini. Ini namanya berbakti sama suami."

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang