Bab 19. Rindu

209 5 1
                                    




Akhirnya Lavina terbebas dari tuduhan kekerasan fisik dan pencemaran nama baik. Tony kemudian meminta maaf dan ia meminta kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan, tapi Lavina tidak mau.

Lavina ingin kasus tersebut terus diproses secara hukum pidana. Menurutnya, orang seperti Tony harus mendapat pelajaran supaya jera.

"Terima kasih...," gumam Lavina sembari menundukkan kepalanya dengan gerakan dramatis.

Auriga meliriknya dan mendengus pelan sembari tersenyum samar. Lalu menginjak pedal gas, mobil hitamnya meninggalkan area kantor polisi. Aurora sudah ia antar ke rumah sebelum menyusul ke kantor polisi, tadi.

"Apa yang kamu lakukan sampai muka dia babak belur begitu?" Auriga menatap tubuh Lavina yang kecil, sekilas. "Saya pikir dengan tubuh kamu yang seperti itu, agak nggak mungkin bisa melawan laki-laki sebesar dia."

Sontak, Lavina mengangkat kepala dan bicara menggebu-gebu, "Om tahu? Waktu aku keluar dari toilet, dia tiba-tiba ngedeketin aku dan megang pantatku kayak begini!"

Lavina mendaratkan telapak tangannya di bokong Auriga, memeragakan bagaimana si pria tua itu memperlakukannya.

Auriga terperanjat dengan sikap Lavina. Dia menoleh dengan mata memelotot.

"Aku langsung marah!" geram Lavina yang tiba-tiba emosi. "Terus dia nggak nyerah, si Bapak itu hampir mau megang dada aku kayak begini." Kali ini Lavina menggerakkan tangannya nyaris menyentuh dada Auriga.

Mata Auriga semakin membulat. "Cepat ceritakan! Jangan setengah-setengah!"

"Tapi belum sempat dia megang dada aku, tangan aku refleks nonjok hidung dia dua kali sampai berdarah!"

Sontak, Auriga menjauhkan wajahnya karena khawatir Lavina menonjoknya.

Lavina tiba-tiba tertawa puas. Lalu memandangi kepalan tangannya yang mungil dengan takjub. "Tanganku ini hebat sekali! Dia sudah terlatih bertahun-tahun ngebela aku dari sikap kasar orang lain sama aku."

Tampak kerutan di kening Auriga. "Kamu sering menghadapi kejadian seperti itu?"

Lavina tersenyum miris. Hampir setiap hari ia bertengkar dengan Resa dan Yasa, mereka selalu menyerang fisik, jadi mau tidak mau Lavina harus membela diri dan membalas mereka.

"Sering, tapi itu bukan kejadian penting." Lavina mengibaskan tangan di udara. "Ah! Balik lagi ke si Bapak yang tadi. Dia nggak terima aku nonjok hidung dia, tiba-tiba dia nyeret aku ke toilet dan hampir memelukku, tapi aku langsung nonjok mata dia sampai lebam begitu."

Semangat gadis itu seketika padam, bahunya tiba-tiba terkulai lesu. "Untung saja matanya nggak kenapa-napa. Kalau sampai terluka, aku bakalan menyesal dan ngerasa bersalah," gumamnya, "tapi aku bukan wanita murahan yang bisa seenaknya dia perlakukan begitu. Aku nggak peduli, mau dia orang kayak, kek. Presiden, kek. Kalau udah nyentuh tubuh aku, aku nggak bakal takut!"

Auriga tertegun. Tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya selama beberapa saat dan ia hanya fokus memandang jalan, hingga tiba-tiba ia mengumpat, "Shit!"

"Kenapa?"

"Belokan kelewat."

"Nggak usah marah cuma gara-gara kelewat satu belokan." Lavina tiba-tiba berubah bijak. "Belokan putar arah masih banyak, kok. Kalau marah-marah entar cepat tua, lho. Om entar dikira ayah aku karena terlihat makin tua."

"Saya nggak marah."

"Tapi tadi Om mengumpat!"

Auriga menghela napas pasrah dan menjawab dengan malas, "Terserah kamu saja."

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang