Bab 20. Mabuk

360 10 2
                                    




Dalam keheningan malam hari, saat bulan masih berada di puncak langit dan bintang-bintang berkelap-kelip dengan gemerlap yang lembut, Lavina merasakan sentuhan hangat selimutnya yang lembut di atas tubuhnya.

Matanya perlahan-lahan terbuka, dan ia mendapati ruangannya yang gelap hanya disinari cahaya bulan lembut, yang menerobos di celah-celah jendela.

Seingatku tadi aku belum matiin lampu, batin Lavina seraya mengingat-ingat apa yang ia lakukan sebelum tidur.

Hal terakhir yang ia ingat adalah ketika dirinya menyetel musik sembari membuka-buka buku mata kuliah bahasa Inggris dan kembali mempelajarinya. Lavina tidak mau kehilangan ilmu yang telah dipelajari sewaktu kuliah, dulu.

Lavina benar-benar yakin ia belum mematikan lampu dan tidak memakai selimut.

Lalu, siapa yang....

Oh? Luka bakar di tangannya pun sudah ditutup kain kasa dan tercium bau obat. Itu luka akibat terkena kopi panas sewaktu mempertahankan tas yang direbut Resa di rumah Mawar kala itu. Akan tetapi, sampai tadi malam Lavina membiarkan luka itu tetap terbuka.

Lavina masih bertanya-tanya siapa yang masuk ke kamarnya dan melakukan semua ini terhadapnya?

Auriga?

Ia mendecakkan lidahnya sambil menuruni tempat tidur. Rasanya tidak mungkin pria matang itu mau melakukannya.

Tapi siapa lagi kalau bukan dia?

Jam di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 03.25. Tenggorokannya terasa kering, ia memutuskan turun ke dapur yang cukup gelap dan hanya mengandalkan cahaya dari lampu luar.

Tepat setelah menyalakan saklar lampu, Lavina mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Siapa yang bertamu subuh-subuh begini? pikirnya.

Karena penasaraan, segera saja ia menuangkan air ke gelas dan meneguknya dengan cepat. Lalu dengan langkah sedikit tergesa ia menghampiri pintu.

Namun, baru saja Lavina tiba di ruangan paling depan, daun pintu itu tiba-tiba terbuka hingga terlihat sosok Auriga yang berjalan agak sempoyongan.

"Om?!" pekik Lavina, terkejut saat melihat Auriga hampir terjatuh dan dengan cepat Lavina menghampirinya untuk membantu menahan tubuhnya.

Akan tetapi Pak Amir—sopir, datang dengan cepat dan langsung memapah Auriga.

"Dia kenapa, Pak?" tanya Lavina sembari mengibaskan tangan di depan hidung saat mencium aroma  menyengat yang terasa asing baginya, yang tercium dari tubuh Auriga.

"Pak Auriga mabuk, Non."

"Mabuk?!" Mata Lavina membelalak dan ia berjalan mengikuti Pak Amir yang memapah Auriga di hadapannya. Baru kali ini Lavina melihat secara langsung orang yang sedang mabuk.

"Iya, Non."

"Dia pulang sendiri?"

"Saya yang jemput, Non. Tadi Pak Auriga sempat telepon saya."

Pak Amir dengan susah payah menaiki setiap undakan tangga. Tubuhnya yang agak kurus perlu usaha keras untuk menyeret tubuh Auriga yang besar.

Setibanya di kamar, Pak Amir merebahkan Auriga dengan susah payah di tempat tidurnya kemudian pamit keluar.

"Ada masalah apa, sih? Kok bisa mabuk? Kalau ada masalah itu cari solusi, bukan mabuk! Mabuk nggak bakal nyelesaiin masalah tauk!" gerutu Lavina sembari melepaskan sepatu Auriga satu persatu.

Auriga terkekeh-kekeh hingga bahunya terlihat berguncang. "Aku nggak mabuk, sebanyak apapun alkohol yang aku minum, aku nggak bakal mabuk. Jangan sok tahu, anak kecil," racaunya seraya menatap Lavina dengan tatapan sayu.

"Anak kecil?" Lavina mendengus sebal. "Iya, iya, Pak Tua." Bibirnya mencebik.

Tepat saat Lavina akan menyelimuti tubuh Auriga yang dibalut kemeja putih, tubuh Lavina tiba-tiba ditarik Auriga hingga terjerembab ke atas tubuhnya. Mata Lavina membelalak bagai melihat hantu di siang bolong. Tangan Auriga memeluk punggungnya.

"Om, kenapa?!" pekik Lavina, panik dan takut.

Tiba-tiba, jantung Lavina berdetak lebih keras ketika pandangan mereka bertemu. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh dalam tatapan Auriga. Entah apa itu, tapi tatapan tersebut mampu membuat lidah Lavina mendadak terasa kelu.

"Om Auriga ma-mabuk!" Lavina tergagap sambil berusaha bangkit, tapi pelukan Auriga terlalu erat di punggungnya. "Ke-kenapa Om begini? Ini nggak baik, Om. Om lupa kalau—akh!" pekik Lavina tiba-tiba saat dalam sekejap mata Auriga membalik posisi mereka berdua.

Lavina semakin panik dan ia merasa sedikit sesak karena tubuh besar Auriga menindihnya.

Namun, belum sempat Lavina menyadari apa yang sedang terjadi, Auriga tiba-tiba menunduk dan mempertemukan bibir mereka berdua.

Bola mata Lavina membesar. Dunia di sekitarnya seolah berhenti berputar secara mendadak. Tubuhnya kebas dan beku. Bahkan, Lavina merasakan jantungnya akan melompat keluar ketika ia merasa ada sesuatu yang lembut dan lembab di atas bibirnya tengah memagutnya dengan kasar.

Akal sehat Lavina seolah lumpuh. Ia masih diam membeku bak mayat hidup dengan mata tetap membelalak. Lavina merasakan mulutnya penuh seakan Auriga tengah mencari-cari sesuatu di dalam sana.

Apa ini? Kita sedang berciuman? Tapi kenapa dia tiba-tiba menciumku? Jadi bergini rasanya berciuman ya? Nggak! Nggak! Gak boleh begini! Dia sedang mabuk! Astaga, ciuman pertamaku direbut sama orang ini?!

Lavina terus menerus berteriak di dalam hati, tapi tangannya tak mampu digerakkan hanya untuk sekadar mendorong Auriga agar menjauh.

Namun, tanpa diduga-duga, ada sebuah perasaan asing yang menyelinap di tengah debaran jantungnya. Perasaan itu membuat Lavina enggan keluar dari situasi ini. Gila memang, tapi Lavina sendiri tidak tahu entah dari mana datangnya perasaan itu.

Saat merasakan napasnya nyaris habis, dengan susah payah Lavina menggerakkan tangannya untuk mendorong dada Auriga.

Pria itu lantas berhenti dan menjauhkan wajahnya. Lavina tidak menyiakan-nyiakan kesempatan itu untuk menarik napas sedalam-dalamnya.

Napas keduanya terengah-engah.

Auriga menatap mata Lavina dengan tatapan dalam, membuat Lavina merasa dirinya terserap ke dalam dunia pria itu.

"Kenapa kamu muncul lagi di hadapanku?" bisik Auriga.

Kening Lavina mengenyit. "Muncul?" Ia berdehem untuk menormalkan suaranya yang serak, lalu mengulangi pertanyaannya, "Muncul lagi gimana maksudnya?"

Tak ada jawaban. Auriga terus menatapnya, jemarinya terulur dan menyentuh pipi Lavina dengan lembut. "Aku merindukanmu...."

Lavina tertegun, debaran jantungnya semakin hebat.

"Flora...."

"Apa?" Seketika, Lavina terdiam. Raut mukanya seketika berubah datar. "Flo... ra?" lirihnya, tak percaya.

Lavina tiba-tiba teringat dengan nama Flora yang tertulis di belakang selembar foto yang ditunjukkan Aurora kepadanya, tempo hari.

Hati Lavina seketika mencelos.

Jadi dari tadi dia cuma....

Bak mendapat kekuatan besar, Lavina mendorong Auriga dalam sekejap ketika pria itu akan menciumnya lagi. Tubuh Auriga terguling ke samping. Buru-buru Lavina turun dari tempat tidur, dan dengan hati yang marah ia keluar dari kamar tersebut tanpa memedulikan Auriga lagi.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang