Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Payoda menurunkan butiran air dengan perlahan; sebuah pertanda apabila hujan deras kemungkinan akan turun di sunyinya malam panjang yang Noa lalui tanpa adanya cahaya indurasmi atau gemerlapnya ratusan bahkan ribuan bintang. Anila mengusap lembut iras Noa tatkala raganya masih setia berdiri di hadapan nisan yang bertuliskan nama insan terkasihnya, sang istri.
Sekalipun udara kian mendingin, bahkan hujan yang mulai turun deras, hal tersebut sama sekali tidak membuat sang taruna beranjak pergi. Seolah ada banyak hal yang ingin Noa ucapkan pada sosok manusia nan bahkan raganya saja tidak berada di sini, di sisinya. Bohong jika Noa tidak merasa kesepian semenjak dunianya andam karam dari hidupnya yang sangatlah sunyi.
Acap kali Noa berharap ketika dirinya membuka mata, ia akan menemukan sosok istrinya yang terbaring di sebelahnya dengan pahatan iras nan begitu damai. Namun, Noa tersadar. Semua itu hanyalah sebuah angan belaka karena jarak mereka bahkan tidak bisa dihitung seberapa jauhnya oleh satuan jarak manapun.
Tes!
Hujan deras turun, tetapi Noa masih berdiri di sana dengan air mata yang perlahan ikut luruh dari bendungan pelupuknya. Noa teringat akan pertemuan pertama mereka yang dipertemukan karena hujan. Noa teringat bagaimana senyuman puan itu mampu membuat nuraninya menghangat. Noa teringat bagaimana sang insan terkasih mencintainya dengan setulus hati. Dan Noa teringat jika semua itu tak bisa lagi dirinya lihat atau rasakan.
"(Name), tolong bawa aku bersamamu. Dunia ini kejam jika aku melewatinya tanpa ada kau di sini," gumam Noa.
Dersik angin kembali berembus. Noa terisak perlahan sembari menutupi matanya dengan telapak tangan. Bagaimana bisa ia rela jika setiap hari saja dirinya menangis dan berharap kepada Tuhan untuk mempertemukan mereka lagi? Bagaimana bisa ia tenang jika tiap detik ia teringat pada sang dayita? Sampai kapan pun, Noa pikir dirinya tidak akan pernah lepas dari masa-masa itu.
Udara dingin membuat Noa sedikit kedinginan, ditambah air hujan yang membasahi raganya. Noa menyeka tetesan air mata di pipi, lantas memutuskan untuk pulang ke rumah mereka yang tentu saja tidak ada siapa-siapa. Namun, baru saja melangkah, Noa merasakan tubuhnya limbung dengan pandangannya memburam. Saat itu Noa berpikir, apakah dirinya akan menyusul (Name)?
***
"Kau melamun terus. Sedang memikirkan sesuatu?"
Netra dan rungu Noa tidak mungkin berdusta tentang seorang anindya yang saat ini duduk di sebelahnya. Saking terkejutnya, ia bahkan sempat menampar dirinya sendiri untuk memastikan jika ini bukanlah mimpi. Tingkahnya ini jelas membuat (Name) heran sekaligus cemas. Bahkan sang jelita sudah menempelkan telapak tangannya yang kecil itu di dahinya.