Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sedari kecil, (Name) sudah mendapat doktrin dari sang ibu jika uang adalah segalanya. Bahkan kala dirinya masih sangat belia, wanita yang bekerja sebagai mucikari di sebuah rumah bordil itu mengharuskannya untuk menerapkan prinsip sang ibu. (Name) tentu saja dengan bodohnya ikut menjadi seorang mucikari kala dirinya sudah berusia delapan belas tahun. Dan pekerjaannya itu telah dilakukan sampai usianya mencapai dua puluh enam tahun.
Selama bertahun-tahun itu, hidupnya yang semula diliputi oleh kemiskinan, kini bergelimang harta. Apa pun yang ia inginkan akan selalu dapat digapai. Tentu saja itu karena pekerjaannya. Andaikata ditanya apakah perbuatannya dosa, (Name) tidaklah tahu. Ia bahkan tidak tahu siapakah Tuhan yang dirinya sembah. Karena ibunya pun seseorang yang tidak memercayai Tuhan.
Selain menjadi mucikari, (Name) terkadang melakukan penipuan kepada orang-orang kaya terkemuka di daerahnya. Dan seperti keinginannya, ia berhasil mengumpulkan banyak uang dari hasil penipuan yang dilakukannya. Berkat semua itu, ia mempunyai rumah megah, mobil, dan barang-barang yang harganya tidaklah murah. (Name) memang wanita mata duitan yang cenderung tidak peduli sekalipun ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Seluruh isi kepalanya dipenuhi oleh uang, harta, dan kuasa.
Hal-hal duniawi seperti itu membuat (Name) gelap mata. Tak jera dirinya melakukan perbuatan kotor seperti itu. Bahkan ketika semua teman-teman SMA-nya sudah menikah dan mempunyai anak, (Name) sama sekali tidak berpikir untuk jatuh cinta. Tak heran mengapa di usianya yang sudah mencapai 26 tahun ini, ia masih lajang. Karena tidak ada pria yang mendekatinya. Lagi pula, ketika ada yang mendekat juga, (Name) sering menolaknya.
Hari ini, seperti biasa (Name) duduk diam di meja kasir rumah bordilnya sembari menunggu pelanggan datang. Bibirnya yang terpoles lipstik merah muda itu menyeringai ketika membaca beberapa headline berita di ponselnya. Kehidupan seorang (Fullname) memanglah sinting. Setiap hari hanya menunggu pelanggan datang dan mendapatkan uang dari pria-pria hidung belang yang memakai usahanya. Kurang sinting apa dirinya?
"Permisi."
(Name) mengalihkan pandangan kepada seorang pemuda berambut ungu yang baru saja memasuki rumah ini. Pemuda itu tersenyum ramah, lalu menghampiri meja dengan perlahan. Alis (Name) mengernyit, tetapi dirinya langsung menegapkan raga dan melayani sang pemuda. Mata mereka bersirobok yang entah mengapa (Name) sedikit dibuat keheranan dengan dirinya sendiri.
"Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa kubantu?" (Name) berkata dengan sopan dan ramah. Bibirnya mengulas senyuman lebar.
"Selamat siang, Nona (Surname). Tujuanku datang ke sini untuk berbicara denganmu. Kau mempunyai waktu senggang?" ujar sang pemuda.
"Berbincang denganku? Ah, chotto matte! Duduklah di ruang tunggu, Tuan. Aku akan berbicara sebentar dengan karyawanku," balas (Name) sebelum akhirnya pergi menemui salah satu pekerjanya di sini untuk menyuruhnya menjaga meja kasir.
Sekarang, (Name) dan pemuda asing itu berada di ruangan pribadi sang wanita. Mereka masih belum mengucapkan kata apa pun mengingat sang taruna tengah menikmati secangkir teh yang dihidangkan oleh (Name). Sebenarnya, (Name) cukup curiga akan kedatangan pemuda ini. Apalagi tujuannya bukan untuk bermain dengan para wanita di sini. (Name) kebingungan dan waspada.