Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Yukimiya-san, selamat atas pernikahanmu."
"Kalian akan menjadi pasangan yang sangat romantis."
"Itu benar."
Dia, Yukimiya Kenyu, berdiri di kerumunan orang; menerima ucapan selamat dari orang-orang yang pernah menjadi rekan di tim sepak bolanya. Dia mengulaskan senyuman manisnya, lalu membalas ucapan selamat itu dengan tutur kata yang dipenuhi kesopanan. Kacamata berbingkai bulatnya lantas dibenarkan—merasa posisinya mengendur di pangkal hidung. Dia menyapa juru kamera yang sibuk mengabadikan momen paling bahagia dalam hidupnya. Mau dilihat dari manapun, Kenyu bahagia.
Sedangkan aku hanya bergeming; menyantap hidangan bintang lima yang dipersilakan untuk dimakan. Aku tidak begitu minat berbincang dengannya sebab status lakon yang kuambil di sini hanyalah sebagai tamu—tidak lebih dari itu. Tahu dia bahagia, kurasa aku juga merasa baik-baik saja. Kenyu layak mendapat kehidupan indahnya seusai menjalani kesulitan yang dia terima tatkala masih menjadi pasanganku. Benar. Kami adalah mantan.
"Are, (Name)-san."
Telingaku diterjang dengan suara kontralto seorang wanita yang tubuhnya dililit gaun pengantin berona putih tulang. Dia adalah bintang utamanya yang terkualifikasi mendapat Kenyu dengan sepenuhnya. Dia wanita yang ramah dan tidak segan menyapaku—yang dulunya adalah mantan suaminya. Kalau aku jadi dia, tak mungkin bisa aku menerima. Aku memang manusia egois.
Aku tersenyum. "Selamat atas pernikahanmu," kataku pelan.
"Arigatou. Terima kasih sudah menyempatkan datang ke acara pernikahan kami padahal kau sedang sibuk." Dia tersenyum lagi.
Astaga. Dia ramah sekali sampai-sampai rasanya aku tidak bisa membencinya karena sudah mengambil Kenyu seutuhnya. Dia bagai bidadari—berbeda denganku yang sikapnya mirip nenek lampir. Dia memang pantas menjadi pasangan Kenyu daripada aku yang hanya bisa menorehkan luka. Aku rasa, semuanya telah berakhir di antara kami berdua. Aku yang egois menerima karma.
"Yo, (Name)." Kenyu datang menghampiri.
Kenyu mengamit tangan istrinya, kemudian membawanya pergi dari hadapanku setelah kami berbincang sedikit. Aku bersedekap, menghela napas, dan memilih untuk pulang. Acaranya juga telah selesai. Aku tidak berurusan lagi di sini. Kakiku membawaku menjauh. Hari ini akan menjadi hari terakhir aku melihat Kenyu. Dia baik sekali, astaga. Aku tidak bisa segera melupakannya. Mau bagaimanapun, dia adalah seseorang yang pernah aku cintai dengan benar-benar tulus. Bahkan sampai sekarang, aku masih memilih untuk menjadi lajang karena aku tidak menemukan Kenyu di dalam diri orang lain.
Aku duduk di sofa apartemenku sambil bersandar. Memejamkan mata, kurasa ini waktunya untuk tidur. Melupakan seseorang membutuhkan tenaga. Setidaknya tidur bisa membuatku tenang.
***
Kupikir tidur akan membuatku bermimpi mengenai Kenyu, tapi aku malah tidak bermimpi apa-apa. Hidupku terasa aneh setelah pernikahan Kenyu dijalankan. Kenapa rasanya ada yang kosong di hatiku? Kenapa aku masih belum melupakan Kenyu? Kenapa dia menikah dengan perempuan lain? Kenapa Kenyu tidak mau meluangkan masanya untuk menanti?