Chris Prince

389 41 10
                                    

Menjadi seorang imigran di negara orang tidaklah semudah yang dibayangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjadi seorang imigran di negara orang tidaklah semudah yang dibayangkan. Syukur-syukur diterima penduduk asli dengan baik, yang menyulitkan adalah maraknya rasisme. Sialnya, aku menjadi korban yang dirugikan. Padahal, hadirnya aku di negara The Land of Hope and Glory ini tidak merugikan siapa-siapa. Pengecualian jika di negara asalku, aku seorang buronan yang sedang berusaha untuk melarikan diriku. Apa ruginya berteman dengan anak-anak yang bahkan masih ngang-ngong-ngang-ngong sepertiku? Dasar, negara saja maju, perihal menghargai masih rendah. Masalah ini membuat kesal. Tidak ada bedanya dengan pindah ke sini. Nasib.

Kesal, aneh, nelangsa, bingung, pusing, ingin meratakan dunia di detik ini juga; pokoknya hari pertama sekolahku yang seharusnya menyenangkan, harus berakhir dengan ucapan tidak bermoral dari teman-teman baruku di sekolahan bergaya zaman-zaman kerajaan dulu ini. Berani-beraninya mengataiku jelek, hitam, bahkan aneh! Seandainya sebuah hari bisa di-rate, nilaiku untuk hari ini nol. Ah, minus nol. Pokoknya, hari ini membuat mood-ku hancur. Perusak mood itu rasanya ingin kulemparkan sejauh-jauhnya ke angkasa!

Ah, baiklah. Sebagai bocah yang anggun, tidak seharusnya hatiku terus-menerus mengatai mereka polontong mungkin juga belegug. Walaupun sebenarnya, masih banyak kata sumpah serapah di hati yang ada bagusnya kujeritkan tepat di wajah mereka. Tidak, tidak. Jangan sampai di masa pertamaku sekolah, aku membuat masalah sebab berkata kasar di hadapan beberapa onggokan manusia yang kehilangan fungsi otaknya. Sekalipun hatiku ini gondok, akhirnya aku memilih membuat pikiran dan ragaku menjadi tenang dengan menonton siaran kartun anak di televisi cembung sementara kedua orang tuaku sedang sibuk-sibuknya merapikan rumah baru kami.

Aku dan orang tuaku yang status kewarganegaraannya Indonesia pada semula, kini telah berubah sepenuhnya menjadi Inggris. Yah, visibelnya, ayahku bekerja sebagai duta yang membuat ibu harus pergi mengikuti ayah, begitu juga aku. Sejujurnya, tak ada perihal signifikan dan gamblang ketika aku pindah ke negara ini. Kuakui, lingkungan Inggris memang jauh berbeda dengan Indonesia. Akan tetapi, lingkup individualisme di sini memang tinggi. Kontras jika melakukan perbandingan dengan negara Indonesia. Hahah, entah mengapa, aku ingin tertawa mengingat jika kebanyakan penduduk negara Indonesia sering berkomentar mengenai hidup seseorang.

"(Name), gimana hari pertamamu di sekolah?" tanya ibuku di saat beliau tengah menggantungkan bingkai foto di dinding putih itu; foto keluarga kami yang seingatku diambil ketika usiaku baru saja menginjak tujuh tahun. Rupanya wajahku ada imut-imutnya.

"Lumayan. Walau cuman temenan sama satu orang, seengaknya dia baik," ujarku menggunakan bahasa Inggris; aku sedang dalam usaha mengadaptasikan cara bicaraku yang masih sering memakai logat daerah asalku di Indonesia. Tanah Sunda. Beradaptasi adalah kegiatan menjengkelkan bagi diriku yang sejatinya telah dipasang dalam mode introvert. Ataukah mungkin aku ini anti-sosial seperti penggemar anime di kampungku dulu? Tampaknya dibutuhkan hal semacam studi agar bisa membuktikannya. Ayo riset aku, Peneliti!

"Cowok atau cewek? Siapa namanya?"

Aku lupa namanya.

"He's a boy." Yang kuingat hanya jenis kelaminnya.

𝗔𝗞𝗦𝗔𝗥𝗔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang