Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kamu bersalah, Eita." (Name) menyerahkan eksplikasi kepada figur seorang pemuda yang menunduk dalam-dalam; menyelami rasa bersalahnya entah kepada siapa.
"Suman ...."
Eita tidak memberi defensi; membiarkan (Name) yang tengah mempertahankan roman tegasnya agar marah atau menangis. Gelenyar nyeri dadanya menyebabkan dia patah asa, apalagi menonton (Name) menyelesaikan problema ini dengan tenang. Namun, Eita seratus persen tahu (Name) sedang bergeming dan mendalami masalahnya sambil menahan tangis. Eita tahu. Apa yang tidak dia tahu mengenai (Name)? Eita tahu semuanya, tapi (Name) berusaha terlihat biasa saja dalam menyikapinya.
(Name) memobilisasi tangan Eita agar bertengger indah di salah satu pipinya. "Kamu tidak boleh lari, Eita. Kamu harus berdiri; menghadapi sesuatu yang ada di depan," ucap (Name).
"Aku tidak bisa, seandainya kamu tidak ada di sana." Kepala Eita menggeleng; ingin (Name) tidak berujar sesuatu yang aneh.
"Perempuan itu butuh seorang ayah, Eita. Kamulah ayahnya."
(Name) tersenyum sendu, lantas meraih raga sang tuan dengan pelan; mendekapnya. "Eita sayangku, kamu adalah orang baik. Semua orang mengetahuinya, tetapi perbuatanmu sulit diterima," kata (Name) lirih. Tanpa disadari, matanya meneteskan air. Dia menangis.
"(Name) ...."
"Aku tidak membenci kamu. Aku hanya ingin kamu berhenti menghubungi aku nantinya. Jadi, terima kasih sudah menjadi suamiku." (Name) merilis dekapan, lantas berdiri dari sofa.
"(Name)!" Eita meraung di ruang tamu; menonton kepergian (Name) yang mulai menghilang dari pandangan. "(Name) ...."
(Name) menghentikan perjalanan di halaman rumah. Retina mata jelaganya menatap bangunan yang berada di hadapan. Dia pergi tanpa mengamit sesuatu dan ingin pulang ke rumah keluarganya. Namun, itu bukanlah ide bagus. (Name) benci dipertanyai alasan mengapa dia pulang ke rumah ayah-ibunya. Lekas menemui apa yang dimau, dia menginap di hotel dengan sisa uangnya. Ah, dia tidak perlu cemas soal uang. Toh, dia sendiri berpenghasilan.
(Name) bukan tipe orang larut dalam masalah. Sekalipun perih di dadanya memang bukan main sakitnya. Mana bisa orang yang sangat dicintai tiba-tiba menginformasikan kalau dia menghamili perempuan lain? (Name) sakit hati, tetapi dia malas menanggapi.
Walau hatinya berdusta. Dia menangis lagi.
***
Eita hilang kontak dengan (Name) yang menghilang semalam. Dia kesulitan menghubungi nomor istrinya. Perasaannya tidak dapat dibohongi. Dia sangat cemas tentang bagaimana (Name). Ke mana perempuan itu pergi? Ke mana perempuan tersayangnya singgah? Ke mana dunianya beranjak? Eita tidak bisa berpikir jernih. Dia cemas dan mudah untuk berpikir negatif. Kalau (Name) terluka, dia yang menanggung dosa.
Kaki jenjang Eita mulai bermanuver. Namun, sebuah tangan menerjang pipinya dengan kencang tatkala dia baru saja hendak memulai jurnal mencari (Name). Eita mendongak patah-patah; mendapati seorang pria yang adalah ayah dari perempuan lain—yang dihamilinya karena ketidaksengajaan. Eita memegangi pipi; meminimalisir sayup-sayup nyerinya. Dia bersiaga 'tuk berbicara.