13. Panti Asuhan

26 16 3
                                    

"RAYY!" Panggil Lia saat melihat dua laki-laki berwajah sama berjalan memasuki taman panti asuhan itu.

Sudah ia tebak dari penampilannya yang benar benar khas dengan Rayan membuat Lia langsung menyadari bahwa laki-laki itu pasti adalah sahabat lamanya yaitu Rayan.

"Tuh." Bisik Radit pada saudara nya agar menghampiri Lia, gadis yang tadi memanggil Rayan. Gadis yang duduk diatas kursi roda dengan memegang setangkai bunga.

"Liaaaa." Panggil Rayan sembari berlari kecil menghampiri Lia.

Rayan memeluk erat gadis itu sembari menampilkan senyum lebarnya. Astaga ini adalah momen melepas rindu mereka. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka tidak bertemu dan kali ini mereka tidak ingin dengan cepat melepaskan pelukan itu.

"Aku kangen bangettttt." Ujar Lia sembari menitikkan air mata nya. Ia mengusap kepala Rayan lembut disana.

"Ahh aku juga kangen kamu.." Rayan melepaskan pelukannya lalu berjongkok agar tubuhnya bisa sejajar dengan gadis yang duduk di kursi roda itu.

Mereka saling diam menatap satu sama lain lalu tertawa bersamaan.

"Kamu makin cantik aja Lia."

"Kamu makin jelek, Ray."

Radit yang melihat interaksi mereka berdua tersenyum tipis lalu berlalu pergi memasuki bangunan panti. Biarlah saudaranya dan teman masa kecilnya melepas rindu.

"Halloo kakak Raditt." Sapa gadis cilik yang bernama Maria. Tangan gadis cilik itu memegang buku gambar dan krayon dan wajahnya yang terlihat kotor karena coretan warna.

Radit berjongkok lalu mengusap wajah bocah itu dengan tissue yang ada dimeja yang ada disana.

"Wajah kamu kotor banget nih. Main sama siapa aja Maria?" Tanya Radit membuat bocah itu terkikik lalu menunjuk kearah beberapa anak kecil yang sedang sibuk bermain.

"Kalian lagi main yaa?" Tanya Radit sekali lagi lalu dijawab dengan anggukan cepat oleh Maria.

"Kamu tau ngga Mama dimana?" Tanya Radit pada gadis kecil itu.

Gadis itu langsung menggandeng Radit menuju seseorang yang ia maksutkan tadi. Terlihat wanita paruh baya duduk membelakangi Radit dan Maria.

"Makasih yaa, kamu boleh pergi duluan." Maria terlihat menganggukan kepala lalu menunjukkan dua jempol kecilnya.

Setelah kepergian gadis kecil itu, Radit berjalan mendekati wanita paruh baya itu. Wajahnya tersenyum begitu lebar karena senang akhirnya bisa bertemu ibu nya.

"Hallo Ma..." Sapa Radit yang membuat wanita itu menoleh. Ternyata wanita itu sedari tadi sedang merajut sebuah baju ditangan nya.

"Walah putraku!" Seru Mareta. Wanita yang baru saja memeluk Radit adalah ibu kandung Radit dan Rayan.

"Kamu udah beberapa minggu ini ga dateng kesini! Kamu udah lupa ya sama Mama?" Sentak Mareta sembari menghapus air mata yang baru saja turun dari pipinya.

Mareta memang sangat sensitif terhadap ketidak hadiran Radit. Jika Radit tidak datang sesuai jadwal, pasti Mareta akan mengalami pikiran berlebihan dan juga stress.

Bisa dibilang Mareta sebenarnya mempunyai kondisi mental yang kurang baik karena kejadian di masa lalunya.

Radit cukup memaklumi hal tersebut karena ia tahu sendiri apa konflik yang dialami oleh ibunya sendiri.

"Ma, aku kesini ngga sendirian lho." Ujar Radit sembari meregangkan pelukannya dari Mareta.

Mareta terlihat mengernyitkan mata bingung. Ia lantas beranjak berdiri dengan pelan untuk melihat siapa yang Radit maksut.

"Kamu bawa siapa, Nak?" Tanya Mareta sembari membawa benang rajut ditangannya.

"Coba tebak-"

"Rayan!" Panggil Mareta sumigrah saat melihat sosok putra keduanya sedang berjalan menghampiri nya. Mareta sontak berlari kecil hendak memeluk Rayan.

Putranya yang terpisah jauh karena masalah keluarga mereka.

"Hallo mamaa.." Sapa Rayan sembari menciumi pundah Mareta.

"Kamu sendiri?" Tanya Mareta sembari menoleh ke belakang Rayan berharap ada seseorang yang ikut dengan nya.

Rayan yang paham arti dari tingkah Mareta pun tersenyum kecut lalu meraih tangan Mareta dan mencium nya.

"Papa ga ikut, Ma."

Radit yang melihat raut wajah Mareta yang langsung berubah pun langsung mengelus punggung kecil Mareta.

"Oalah gitu ya, Nak... Ayo ayo kita makan makan dulu! Kamu pasti capek toh jauh jauh dari Jakarta kesini."

Mareta menggandeng dua lengan masing masing putranya. Walaupun kecewa karena mantan suaminya tidak datang, namun ia tetap tidak dapat berbohong bahwa dirinya sangat sangat gembira bisa berkumpul dengan dua putra kandungnya. Hanya itu saja sudah cukup baginya.

"Gimana kabar kamu selama ini sayang?" Tanya Mareta pada Rayan yang sedang makan sayur capcay buatan Mareta dengan lahap. Di depan tempat duduk Rayan terdapat Radit yang juga tengah lahap memakan masakan Mareta.

"Baik banget, Ma! Aku sehat kok. Malah besok nih ya Rayan bakal merintis karir jadi penyanyi. Papa bilang mau bantu buat karir Rayan." Curhat Rayan pada Mareta. Radit yang mendengar cerita itu tersenyum, ia ikut senang mendengar bahwa cita cita yang Rayan harapkan sebagai seorang penyanyi akhirnya sudah sedikit terlihat.

"Seriusan lo?" Tanya Radit sembari mengacungkan sendoknya.

"Seriusan lah! Lo kapan nih jadi pendekar?" Tanya Rayan sembari tertawa mengejek.

Pendekar adalah cita-cita Radit sedari kecil. Kebanyakan nonton naruto soalnya.

Radit menggaruk hidungnya yang tak gatal. Ia sedikit malu mengenang masa kecilnya dulu yang suka memakai sarung di kepalanya dan dibentuk seperti ninja.

Mareta tertawa kecil mendengar kedua putranya saling mengejek dan tertawa. Hatinya terasa bahagia melihat kedua putranya tetap akur meski kedua orangtuanya sudah berpisah dan tinggal sangat jauh satu sama lain.

"Cita-cita Radit sekarang apa?" Tanya Mareta. Mareta memang tidak tahu apa yang menjadi hobi dan juga keseharian Radit selama lulus SMP dulu. Ia sudah memilih untuk tinggal di kota, sedangkan Mareta tinggal di desa menjaga panti asuhan milik kedua orang tuanya.

"Dia mah pengen jadi pelukis, Ma." Adu Rayan sembari tersenyum.

"Lukisan Radit bagus bagus lho, Ma." Lanjut Rayan membuat Radit mempelototi saudaranya itu.

"Loh kenapa kamu ga bilang ke Mama selama ini?" Tanya Mareta sedikit kesal karena baru tahu bahwa anaknya yang lebih sering bertemu dengannya malah tidak bercerita apa apa.

"Maaf Ma, Radit pikir itu ngga penting mangkanya Radit ngga cerita." Jawab Radit sembari nyengir lebar.

Rayan yang melihat itu pun mencibir. Padahal kan Radit sengaja menyembunyikan bakatnya agar Papa nya tidak tahu.

Bahaya kalau Papa mereka tahu. Bisa bisa Radit dibawa juga ke Jakarta.

Karena pada dasarnya, Papa mereka berdua sangat berambisi dengan semua bakat. Apapun itu maupun di akademik maupun di non-akademik.

"Oiya Ma. Kata Papa, Papa titip salam ya buat Mama."

Radit dan Mareta langsung terdiam dan saling mrnatap satu sama lain. Mareta menampilkan senyumnya yang terlihat sangat manis walaupun wajahnya sudah dimakan usia.

"Mama titip salah juga ya buat Papa kamu."

Rayan ikut tersenyum lalu mengangguk. Ia mengacungkan jempolnya pada Mareta. Sedangkan Radit merasakan rasa kesal dan marah. Ia tidak suka mendengar pesan yang baru saja Rayan sampaikan pada Mamanya itu.

Radit menghela nafas lalu melanjutkan makannya tanpa mood yang baik. Tidak seorangpun tahu apa yang Radit rasakan karena laki-laki itu pandai menyembunyikan perasaannya.

Persona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang