Hampir tiga bulan keduanya menjalin rumah tangga tanpa kasih— hanya dua anak tunggal yang dibesarkan dengan kasih sayang dan memberikan perhatian-perhatian biasa antar sesama. Farel dan Allia semakin terbiasa dengan masing-masing.
Perlahan, keduanya sama-sama mulai mengenal satu sama lain. Seperti Allia yang hafal bahwa Farel memang bisa bangun sendiri dengan alarm 30 menit lebih lambat dari jam bangun tidurnya.
Pagi ini— seperti biasa, Allia memasak untuk bekal yang bisa tahan hingga seharian sampai mereka pulang kerja.
Lalu, 40 menit berlalu. Makanan Allia hampir selesai, sisa 3 menit lagi pun sudah selesai, lalu Allia bisa pergi mandi dan siap-siap untuk ke kantor.
Ada yang aneh dari Farel. Allia belum mendengar suara air mengalir dari kamar mandi dalam kamar yang biasanya memang terdengar sampai ke dapur. Tidak mungkin Farel tidak mandi, dia bukan tipikal Allia yang dulu— sebelum bekerja, jika sudah mandi di jam 9 malam, maka paginya ketika berangkat kuliah, ia tidak akan mandi. Pengecualian; Allia gerah di malam hari atau bangun pagi.
Allia belum menghiraukannya. Ia menyelesaikan terlebih dahulu masakannya. Kemudian, ia bergegas untuk mandi.
Di dalam kamar, ia sedikit heran dengan kernyitan di dahi, Farel belum bangun. Masih terlelap damai. Ia melihat jam digital di atas nakas Farel, jam setengah tujuh pagi. Kantor Farel mengharuskan karyawannya masuk di jam 8 pagi dan perjalanannya menuju Setiabudi membutuhkan sekiranya 25 menit karena menggunakan mobil dan jika macet, bisa satu jam lebih.
Inisiatif, Allia membangunkan Farel. "Rel? Nggak ke kantor?" serunya sambil menepuk-nepuk pelan lengan Farel. Cukup aneh sebenarnya karena begitu Allia menyentuh lengan itu, ada hawa panas. "Rel?" panggilnya sekali lagi.
Farel bergerak dan mengerang kemudian. Dahinya mengernyit seperti kesakitan. "Iya, Al?" sahutnya dengan serak. Wajahnya pucat sekali begitu Allia bisa melihat wajahnya dengan seksama. "Rel, pucet banget. Kamu sakit?" Allia panik. Ia memegang dahi lelaki itu dan benar saja, sangat panas.
"Eh, Rel kamu panas banget... ke dokter, yuk?" kata Allia semakin khawatir. "Kamu pusing nggak? Kamu semalam pulang jam 11 udah makan malam belum?"
Farel merasa wajahnya panas akibat suhu badannya yang mendidih. Memang, tiga hari ini ia pulang sangat larut karena kasus yang ia tangani cukup berat mengenai warisan pejabat tinggi dan para pewarisnya yang ribut. Sudah memang waktunya ia beristirahat.
Ia hanya bisa memejamkan mata dengan kedua alisnya bertautan. Sepertinya memang sangat pusing. Farel juga sangat berkeringat, ia meriang. "Ke dokter, ya, Rel. Aku izin cuti dulu." Allia buru-buru mengambil ponselnya di atas kasur areanya dan mengetikkan beberapa patah kata kepada atasannya.
Izin itu sangat mudah disetujui mengingat Allia hampir tidak pernah cuti, justru ia sangat rajin ke kantor. Terlebih, ia mengaku izin karena suaminya sakit, atasannya yang seorang wanita gemar menggodanya pun bahkan memberikannya cuti selama 2 hari untuk merawat Farel.
Farel tidak menggubris, tapi ia sudah terduduk sekarang. "Kamu bisa jalan 'kan tapi? Atau pusing banget nggak?" Allia bertanya.
"Aku cuma pusing, Al." Farel menyanggah.
"Ish, pusing mananya, sih? Itu kamu udah mendidih gitu suhunya, ke dokter aja, ya, Rel takutnya kenapa-napa." Allia membantunya berdiri untuk mencuci muka dahulu dan berganti baju.
Lelaki itu pun bergerak menuju kamar mandi dengan lemas selagi Allia mengambil tas selempangnya dan membawa beberapa setelan baju Farel untuk mengantisipasi jika Farel diwajibkan rawat inap.
•••
Untungnya, Allia bisa membawa mobil dan Farel memejamkan mata tanda pusing yang hebat di kursi penumpang. Sesampainya di rumah sakit, Allia membawa Farel ke UGD.
Selang 10 menit menunggu, akhirnya dokter umum yang menjaga UGD datang menghampiri bilik Farel berada— yang sakit sedang rebahan dan istrinya mencari tau apa yang Farel lakukan selama ini sampai bisa sakit.
"Halo, Pak Farel. Gimana? Apa keluhannya hari ini?" sapa Bu Dokter yang dari tampaknya, seumuran dengan mendiang Mama Allia, 50 tahun. Beliau menutup tirainya.
Farel menjelaskan keluhannya, dibantu dengan Allia. Justru, Allia lebih banyak menjelaskan yang dirasakan Farel dan bagaimana pekerjaan Farel bisa menyibukkannya sampai tidak menyentuh makanan padahal lelaki itu punya GERD yang cukup mengkhawatirkan.
Setelah itu, sang dokter memeriksa kondisi fisik Farel seperti umumnya— menggunakan stetoskop dan menyenter bagian mulutnya. Setelah itu, ia menjelaskan diagnosa.
Farel diharuskan mengambil tes darah dan memeriksa trombosit karena yang dikhawatirkan saat ini adalah typhus. Allia sudah menduga karena suaminya ini memang terlihat sangat lemas dan lebih kurus dari minggu lalu. Didukung pula dengan jadwal makannya yang tidak teratur.
•••
Lelaki itu keluar dari laboraturium dengan perban dan plester kecil di tangannya. Ia terduduk di ruang tunggu depan laboraturium yang dekat dengan kantin. Allia yang khawatir itu sedikit marah.
"Kok bisa lupa makan, sih?" tanyanya.
"Maaf, Al. Kerjaanku nggak bisa ditinggal banget."
"Ya, masa sampe tiga hari? Kamu makannya pas siang doang, ya? Makan bekal aja?" Farel mengangguk. Allia menghela nafas sebal. "Besok-besok aku bawain bekal sama yang buat malam, ya? Di kantor ada microwave 'kan? Nanti biar dipanasin aja kalau mau makan."
Mendengar omelan bawel dari Allia— istri pertamanya yang berawal dari perjodohan, merupakan hal tak terduga yang akan datang kepadanya. Ini sama sekali bukan rencana hidupnya.
Justru sebenarnya, Farel ingin menikah di umur 30 tahun di mana pengalamannya menjadi pengacara bisa lebih banyak dan lebih matang sampai ia mempunyai anak buah, bukan lagi menjadi bawahan.
Tapi, ucapan Bunda ada benarnya. Takut Bunda tidak sempat melihat Farel menikah dan berkeluarga, belum lagi waktu Farel yang lebih banyak berkutat dengan kasus dalam berkas menumpuk. Bisa-bisa ia juga tidak punya waktu untuk mencari jodoh.
"Aku ngomong nggak didenger, ya?" Farel terbuyar dari lamunan. Galak banget.
"Nggak perlu, Al. Aku beli makanan aja di sana 'kan bisa pesan online."
Allia langsung membalas, "Emang kamu bakal inget? Udah, ya, Rel besok aku bekalin dua makanan aja. Sama cemilan-cemilan, ya?"
Tidak bisa membangkang. Pesan dari Bunda dan rekan-rekan kerja yang sudah beristri memang sama; hidup akan lebih mudah kalau nurut dengan istri. Jadi, Farel mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Al. Makasih, ya udah khawatir."
Setelah satu jam lamanya menunggu hasil laboraturium, hasil tes darah dan Trombosit pun keluar.
"Yah, beneran aku typhus."
"Aku ikut tidur di kamar, ya. Asuransi kantor kamu yang mewah itu 'kan dapetnya SVIP."
▫️▫️▫️
Halo (lagi)!!!
Semangat puasanya bagi yang menjalankan, ya <3

KAMU SEDANG MEMBACA
Fall For You
FanfictionKarier. Satu hal yang menjadi fokus utama dua orang dengan latar belakang berbeda. Keduanya bersatu, ikatan yang luar biasa pun terbangun sendirinya. Jika mereka memang ditakdirkan bersama, semesta akan turun tangan. [JONGCHANGIE Alternative Univers...