7 : Rawat Inap

190 40 4
                                        

Typhus tidak memerlukan waktu yang lama karena 2-3 hari rawat inap pun sudah cukup dan diperbolehkan pulang dengan syarat diiringi bed rest maksimal dua hari. Pagi itu merupakan hari pertama Farel dirawat dan kini, pasangan suami istri itu sudah berada di kamar pasien.

"Masih pusing?" Allia menanyakan. Hari sudah hampir menuju makan siang yang artinya, sebentar lagi akan datang ahli gizi membawakan makanan untuk pasien dan penjaga.

"Udah nggak, kok. Ini karena banyakan tiduran aja makanya pusing." Farel menggeleng.

Gadis itu memegang dahi Farel lagi, "Nggak sepanas tadi pagi, sih, tapi udah mendingan banget. Selimutan aja sebadan biar keringetan terus demamnya cepat turun." Farel menurut. Ia menarik selimut sampai leher. Allia juga menaikkan suhu pendingin.

Televisi menyala, menampilkan acara lokal yang berfungsi untuk mengisi ruangan saja. Kemudian, Allia baru teringat sesuatu. "Oh, iya baju-baju kamu, Rel. Aku ambil dulu, ya."

Farel langsung menahannya, "Eh, nggak usah, Al. Jauh ke rumah dulu."

"Hah? Aku tadi packing baju kamu sebelum ke rumah sakit... ada di tas, aku taro di belakang."

Lelaki itu mengernyit. Ia tidak melihat Allia mengemasi baju-bajunya sama sekali. Apa karena pusing yang hebat tadi membuatnya tak menyadari sekitar, ya?

Allia berlalu mengambil tas itu ke tempat parkir meninggalkan Farel yang terkagum dengan sigapnya Allia di saat genting seperti itu. Salut, pikirnya. Tak lama, suster ahli gizi membawakan dua kotak makanan dan Farel akan menunggu Allia supaya bisa makan bersama.

Karena sejujurnya, baru empat kali keduanya makan bersama dan dua di antaranya merupakan acara yang mengharuskan mereka makan berdua.

•••

"Al, udah makan?" Meskipun Farel tau jawabannya, ia hanya mau memastikan.

"Belum. Itu udah dateng 'kan makanannya? Kamu makan duluan aja." kata Allia yang sudah kembali ke kamar dengan tas pakaian milik Farel. Ia taruh di lemari samping ranjang di mana lelaki itu sedang terduduk sekarang.

"Aku nunggu kamu, sih. Boleh makan sama-sama nggak... aku sama kamu?" Mendengar itu, Allia yang sedang merapikan baju langsung menoleh pada Farel. "Kamu... nggak mood makan atau...?"

Allia tersenyum simpul, "Boleh. Sebentar, ya..." Farel ikut tersenyum. Entah, ia sangat kagum dengan gadis satu ini. Baginya, Allia punya senyum yang sangat cantik. Tidak heran banyak teman-teman kantornya yang memuji Allia.

Setelah selesai dengan urusan lemari dan menaruh barang-barangnya, Allia memindahkan dua kotak itu ke atas meja makan. Ya, meja makan. Farel bangkit dari sana sambil mendorong tiang yang menopang cairan infus. Mereka duduk berhadapan.

"Semoga enak, ya." gumam Farel dan sukses membuat gadis di depannya ini terkekeh kecil. "Kenapa? Takut nggak enak rasanya?" Farel mengangguk setuju, "Enakan makanan kamu ini, mah."

"Aku belum tentu masak sehat padahal... 'kan ini yang bikin ahli gizi."

"Tetep aja, Al."

"Yaudah. Nanti sore mau aku buatin makanan? Tapi aku pulang dulu." Farel langsung menatapnya seolah-olah itu adalah tindakan berbahaya. "Nggak usah, Al! Aku bercanda doang..."

Allia menyanggah, "Ya... aku sekalian mau ambil baju aku juga, sih, Rel. Sama bawa handuk tangan mini buat kamu lap badan. Emang kamu nggak mau mandi?"

"Mau, sih... tapi nggak apa-apa?" Farel bertanya meyakinkan.

"Nggak apa-apa. 'Kan kewajibanku."

•••

Secara rutin, baru saja dokter mengunjungi Farel di malam hari untuk check-up dan mengetahui perkembangan penyakitnya. Untung, Allia sudah di lokasi, baru sampai setelah memasak makanan untuk suaminya itu— sesuai permintaan.

Allia mengeluarkan kotak-kotak makan yang masih hangat dari tas jinjing beserta tas berisikan baju-bajunya dan perlengkapan lain. Begitu kotak makannya dibuka, wangi harum makanan Allia menyeruak ke seluruh kamar.

"Wanginya enak, Al." seru Farel dari brankar. Senyam-senyum tak jelas kesenangan karena bisa makan masakan Allia. Padahal, makanan sore hari untuk pasien dan pengunjung sudah ada di atas meja, tapi tak tersentuh.

"Mau makan sekarang?" Allia bertanya, Farel mengangguk. Ia dorong tiang itu dan duduk di meja makan— seperti tadi siang. "Makan bareng lagi?" Allia bertanya lagi dan Farel mengangguk lagi.

Sambil menunggu Allia menyiapkan porsi Farel, lelaki itu memotret visual makanan di atas meja. Istrinya itu terbingung, "Ngapain difoto?"

"Mau pamer aja, sih ke grup kantor. Boleh?"

"Y-ya, boleh... kirain apa..."

•••

Farel memejamkan mata ingin mencoba terlelap, tapi seharian ini ia sudah banyak tidur meskipun durasinya pendek. Ia mendengar suara ketikan dari sebelah kanannya, lalu ia melirik mendapati Allia sedang berkutat dengan laptop.

Gadis itu memakai kacamata di kala kerja dan bagi Farel, auranya sangat berbeda. Ia jadi merasa bersalah. "Al, kerja?" tanyanya.

"Eh?" Allia menyahut. "Iya, Rel. Kenapa? Kamu butuh sesuatu?"

Bukan, bukan itu.

"Nggak, Al. Kamu masuk kerja aja besok, paling malamnya aku udah pulang... atau lusa, sih." Farel merasa tidak enak karena mengganggu pekerjaan Allia sampai-sampai di hari cuti pun ia masih bekerja.

"Nggak, ah. Orang udah cuti, kok. Kewajibanku jaga kamu sampai sembuh."

Iya, kewajiban. Secara teknis, memang kewajiban.

Tapi jawaban Allia itu membuat Farel tergelitik. Kalimat itu sungguh merubahnya sejenak. Ada sesuatu yang mengganggu Farel.

"Aku... tidur dulu."

▫️▫️▫️

Halo teman-teman semua!
Boring, ya chapter ini?
Semoga cukup memulihkan rindu kalian ke Farel sama Allia, sih~ hhehee
Semangat selalu ya kalian <3

Fall For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang