9 : Pertandingan

102 22 3
                                    

Memasuki musim sepak bola dunia yang ditunggu-tunggu seluruh warga dunia, World Cup. Farel sama seperti pria pada umumnya yang menyukai sepak bola karena semasa sekolahnya dulu, ia aktif bermain sebagai penyerang di timnya. Tidak mungkin baginya melewatkan World Cup selama ini.

Sayangnya di Indonesia, tayangan langsung World Cup di TV ini hadir di jam 2 pagi. Sejak pertandingan pertama, Farel melewatkan beberapa aksi tersebut karena harus tidur untuk bekerja esok pagi— meskipun sudah 2 kali ia memaksakan untuk tetap bangun dan membuatnya sangat lelah begitu di kantor.

Kali ini, ia menonton di jam 2 pagi lagi karena esok hari adalah hari libur, namun tetap saja ia perlu mengecilkan suara agar tidak mengganggu Allia yang tertidur.

Sudah 20 menit Farel berada di hadapan TV sambil ikut bereaksi sepanjang pertandingan. Suara resahnya, antusiasnya, dan amarahnya selagi para pemain bola itu beraksi yang menghiasi ruang santai. Tentunya, dengan suara yang kecil.

Seruan-seruan menyebut nama pemain bola kian ia lontarkan sambil menyeruput kopi hitam agar ia tetap terjaga. Toh, hari libur ini ia bisa bangun lebih siang.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka, Farel menoleh ke sumber suara. Allia keluar dari kamar. Ia spontan bertanya, "Al? Kok bangun?"

"Haus." Allia menjawab sambil mengusap-usap matanya. Terlihat sekali gadis itu memang terbangun dari tidur karena matanya masih sangat sipit. Namun, Farel merasa tidak enak.

"Aku berisik, ya, Al?"

Allia menjawab terbata karena nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. "Hah? Nggak..." ujarnya. Padahal nyatanya memang benar bahwa Allia terbangun karena suara. Ayolah, mereka sudah hidup berdua selama hampir 5 bulan, dan tidak mungkin bagi keduanya tidak mengenali kebiasaan satu sama lain.

Seperti Farel yang paham betul bahwa Allia tipikal yang mudah terbangun oleh suara. Tak rugi bagi gadis itu menikahi Farel karena lelaki itu tidak mendengkur— melainkan Allia sendiri yang mendengkur kecil.

Selagi Allia minum sambil berdiri di meja bar, Farel bangkit dari sofa dan mematikan TV. Gadis yang sedang meneguk minumnya itu heran, "Kok udahan nontonnya?"

"Nggak apa-apa, ini mau tidur." Allia mengernyitkan dahi kebingungan. "Tapi ini World Cup?" ujarnya sambil menaruh gelas di wastafel dan mencucinya dengan cepat. Farel menunggu di belakang Allia— ikut minum. "Ada tayang ulangnya. Tidur aja."

Allia merasa ada sesuatu, "Kamu nggak ganggu aku, aku haus aja makanya kebangun."

"Sst, udah. Kita tidur aja."

Mau tak mau, Allia menurut. Keduanya berjalan menuju kamar bersamaan dan terlelap dengan mudahnya.

•••

Hari Sabtu yang membosankan— tidak bagi Allia yang di tengah hari ini sedang mengurus beberapa pekerjaan setelah telepon dari rekannya datang untuk memeriksa suatu data. Tidak berat, bisa cepat selesainya.

Farel dengan rutinitas mingguannya, yakni mencuci mobil, baru masuk ke dalam rumah sambil memberi kabar kepada Allia yang sibuk dengan kursor. "Al, aku boleh pergi main?"

Aneh. Biasanya Farel langsung menyatakan, bukan mempertanyakan jadi, Allia menoleh bingung. "Kenapa tanya dulu? Silakan aja, Rel."

Sempat ada jeda sebelum menjawab, Farel juga tak tau kenapa. "Soalnya aku mau main? Nggak apa-apa nggak kalau aku pergi main? Nongkrong gitu? Sama cowok-cowok doang."

Informasi tambahan yang terakhir itu membuat Allia hampir tertawa. "Main aja, Rel." kata Allia.

"Kamu nggak nanya ke mana?" Allia tambah bingung!

"Main ke mana?" Allia pun bertanya. Entah kenapa, tapi Farel senang ditanya seperti itu meskipun harus dipancing. "Ke Bintaro sama temen-temen kuliah. Kamu mau ikut?"

Allia melempar tatapan bingung campur komedi, "Kenapa tuh tiba-tiba aku diajak?"

"Daripada kamu sendirian terus gabut?" Farel memberikan nada bertanya. Allia akhirnya tertawa, "Aku nggak apa-apa. Kamu pergi aja, tapi makan dulu."

Farel tersenyum tipis dan cengengesan di kala Allia kembali berfokus ke laptop di atas bantal sofa. Ia bergegas ke kamar untuk mandi.

Selang 25 menit, Farel muncul dari kamar. Mengejutkannya, Allia sudah kembali berkutat dengan ponselnya. Lelaki itu berpikir bahwa kerjaannya yang singkat itu sudah usai dan semakin tak enak hati dirinya meninggalkan Allia.

"Al, nggak apa-apa ditinggal? Mau ikut nggak? Temen-temen aku baik, kok... nggak gigit... waktu nikahan juga dateng yang rusuh foto Polaroid itu..." Farel memastikan sekali lagi yang membuat gadisnya itu terheran juga sedikit kesal.

Allia tersenyum meyakinkan, "Fareeel aku nggak apa-apaaa!" ujarnya dengan nada lembut dan halus. "Main aja sanaaa."

"Kan mau makan dulu... kamu nggak makan, Al?" Gadis itu melihat jam di ponselnya yang menunjukkan jam satu siang kurang 12 menit. Ia sendiri bahkan lupa makan siang. Ia langsung beranjak menuju meja makan dan menyiapkan dua piring di atasnya.

"Tuh, kamu sendiri lupa kalau belum makan." kata Farel.

"Baru selesai kerjaannya." Farel mengangguk paham menanggapi ucapan Allia. Masakan hari ini— seperti biasa, di mata Farel sangatlah lezat dan memanjakan matanya. Dari lamanya ia tinggal bersama Allia, ia paham sekali bahwa istrinya ini tipikal yang cukup perfeksionis. Hidangannya pun tertata rapi di atas wadah keramik putih bersih.

Farel sendiri pernah merasa risih atas masakan Bunda yang kurang lihai dalam penataan wadah dan lauknya. Berbeda dengan reaksinya sejak menjadi suami dari Allia yang sangat rapi menata makanan. Bahkan, isi bekal yang disiapkannya sering mendapat pujian dari teman-teman kantor Farel.

Makanya, hingga hari ini, Farel sangat kagum dengan Allia.

"Nanti malam kamu mau makan apa, Al? Mau makan di luar nggak?" ajak Farel.

"Hmm... ini makanannya sampe sore masih enak, kok. Nggak usah jajan, boros nanti."

"Nggak boros, Al." Allia langsung melempar tatapan sinis. "Uhm... maaf... tapi aku niatnya mau ajak Allia makan di luar."

"Makan apa emangnya?"

Farel mengangkat bahu tanda tak tau. "Kamu yang tentuin."

"Kupikir kamu ngajak udah tau mau ke mana."

Detik itu juga, Farel berpikir bahwa ia salah langkah. Baru kali ini ia merasakan balada hidup beristri yang cenderung galak— menurut pengalaman rekan-rekannya yang sudah menjadi seorang ayah. Ia menelan ludah.

"T-tapi kamu mau?"

"Mau grill."

"Okay. Aku nanti pulang jam 5 sore paling. Dandan yang cantik, ya."

"Hah?"

"Hah?"

▫️▫️▫️

Segitu dulu, ya! See you guys! <3

Fall For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang