Rintik air berjatuhan, membasahi bumi dan seisinya. Malam begitu kelam, tanpa cahaya aku berlari, menghantam gerimis yang tiada habis. Langkah kaki bertemu dengan dedaunan kering yang licin karena guyuran hujan, meninggalkan suara nyaring memenuhi hutan.
Kakiku terus melangkah tak kenal lelah, menghindari puluhan pria bersenjata api yang terus melesatkan pelurunya. Di tengah malam aku berlari, menghindari peluru yang melayang kepadaku. Berkali-kali kakiku tergelincir akibat licinnya tanah yang ku pijak.
Aku terus berlari, sampai mataku menangkap pohon besar yang rindang. Memanfaatkan gelapnya malam, aku mengelabui mereka. Berlari cepat ke arah kiri, berguling ke kanan menuju pohon besar. Benar, mereka tidak menyadari pergerakkanku. Aku, aman?
Nafasku tersenggal, menghirup udara sebanyak-banyaknya disekitarku. Nyeri menyerang seluruh tubuhku. Luka di mana-mana, bahu dan kakiku sempat tertembak peluru yang melesat cepat, aku tak sempat menghindarinya. Kakiku sudah mati rasa, bahuku terus mengeluarkan cairan merah pekat. Aku tak mampu berlari, bahkan untuk sekedar menopang berat tubuhku kakiku tak lagi mampu.
Aku tau, mungkin aku sudah di akhir nyawaku. Peluru yang mereka tembakkan padaku beracun. Aku sedikit kesal mengetahui racun yang kubuat membuhuhku. Sialan. Sekalipun aku lepas dari mereka, maka sudah pasti aku mati karena racun ini. Aku bahkan belum membuat penawarnya.
Suara langkah kaki mendekat ke arahku. Memejamkan mataku, aku berusaha sesantai mungkin. Bagaimanapun juga aku pasti akan mati, bukan? Lebih baik aku mati karena racunku, daripada mati ditangan para bajingan yang menjebakku. Sialnya peluruku habis, aku sudah tidak bisa melawan.
"Hei, sialan Lee!! Kau takut mati huh?"
Mataku terbuka mendengar suara yang menggelegar di penjuru hutan. Bajingan itu, aku sudah muak dengan topengnya. Penghianat yang kupercaya. Aku kembali menutup mata, persetanan dengan suara besar yang mengganggu. Kupikir, mati bukanlah pilihan yang buruk.
"Oh? Kau disini pengecut?"
Aku kembali membuka mataku. Menghela nafas kesal. Mereka tau aku akan mati, namun mereka terus menggangguku.
Kerah kemejaku di tarik kasar. Sialan, tidak sopan sekali manusia yang bahkan lebih muda dariku ini. Tubuhku di dorong kasar ke tanah, mereka kini berada di sekelilingku. Aku berusaha setenang mungkin, walau tak bisa dipungkiri aku sangat ingin mencabik mereka dengan tanganku.
"Kau memang sepengecut ini? Pak tua?" ujar pemuda di hadapanku dengan tuturnya yang tenang. Namun dia tak bisa menyembunyikan kemarahannya.
"Apa?" ujarku menanggapi.
Pemuda di hadapanku kini menatapku nyalang. Matanya menatapku tajam, seolah aku akan mati dalam tatapanya. Sangat mudah di pancing.
"Kau masih bertanya?!" kerahku kembali di cengkram kasar. Dia mendorongku ke tanah dan menginjakkan kakinya di bahuku dengan tekanan yang kuat. Aku sedikit meringis, injakannya tepat mengenai bahuku yang tertembak. Namun lihatlah, wajah bodohnya saat marah, aku tersenyum mengejeknya. Hingga aku terbatuk kuat karena tekanan kakinya menguat.
Dia melepaskan cengkramannya dengan senyum di bibirnya, menatapku remeh. Dia menegakkan tubuhnya, mengeluarkan pistol dari sakunya dan mengarahkannya tepat kearah otakku bersarang. Aku masih tenang, lagipula, aku sudah pasti mati.
"Setelah kau, selanjutnya adalah adikmu."
"Apa!? Mengapa adikku, sialan?! Urusanmu denganku, bukan adikku!"
Aku rela untuk mati, tapi tidak jika adikku. Dia satu-satunya hartaku, permataku yang aku miliki di dunia ini. Berani sekali dia menyentuh adikku?!
"Semua Klan Lee akan aku hancurkan. Termasuk adikkmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love From Heaven (SungTaro story)
RandomKematiannya di masa lalu justru menuntun kebenaran di masa depan. Saat banyak hal yang disembunyikan darinya terungkap begitu saja. Apalagi saat kebenaran tentang kekasihnya yang berasal dari Surga. ⚠️WARNING⚠️ This story is only fictional, it has...