Without feeling

842 117 40
                                    

Kepulan asap terlihat mengudara setelah Choji meletakkan bongkahan daging merah segar ke atas panggangan. Pemuda berbadan besar itu menarik liur dengan cara yang menjijikkan, menatap daging-daging yang perlahan berubah kecoklatan dengan tatapan tidak sabar.

​Sementara Choji sibuk menunggui daging, Ino duduk di sampingnya, mengangkat gelas minuman sembari memperhatikan rekan satu timnya yang tengah melamun di seberangnya.

​"Jika kau akan bermenung saja, lebih baik pulang sana. Aku dan Choji sudah lama menunggu pertemuan ini, tapi kau malah tampak tidak bersemangat, dasar." Celutuk Ino tajam, membuat Shikamaru tersadar dan segera memegangi kepalanya dengan perasaan bersalah.

​"Janga terlalu keras padanya Ino. Kau tahu, belakangan Shikamaru cukup sibuk." Choji berusaha menenangkan.

​Shikamaru menghela napas, mengambil gelas air dan menyesapnya sedikit sebelum berbicara. "Maaf. Aku sedang banyak pikiran."

​Ino merengut. "Yah, wajahmu menjelaskan segalanya." Ujar gadis bersurai pirang itu sambil mencomot sebongkah daging dari panggangan dengan sumpitnya.

"Itu belum matang." Teriak Choji, tapi Ino tidak memperdulikan.

"Hal penting apa yang sekarang sedang kau tangani?" Tanya Ino penasaran.

​Shikamaru tidak dapat memberikan informasi yang masih bersifat rahasia pada teman-temannya. Ia kembali meneguk air, mengalihkan pandangan menatap daging-daging yang kini telah terpanggang sempurna. "Yah, hanya hal-hal biasa." Jawabnya asal.

​Ino tak lagi berusaha menggali informasi, karena sepertinya gadis itu sangat memahami sikap Shikamaru dan posisinya sebagai asisten hokage yang tidak dapat membicarakan hal-hal tertentu kepada orang lain.

​Ketiga anak muda itu mulai makan dalam suasana yang lebih hangat. Choji membocorkan kencan antara Ino dan Sai minggu lalu. Dia bertemu keduanya di salah satu tempat makan mewah yang cukup terkenal di desa. Choji menceritakan segalanya sampai detail terkecil, membuat sang pemeran utama wanita dalam cerita itu menghentikannya karena malu setengah mati.

​"Kau tidak terkejut Shikamaru?" Choji menyuap bongkahan daging terakhir ke mulutnya.

​Shikamaru mengedikkan bahu, melipat tangan ke depan dada dan bersender. "Aku sudah menduganya bahkan sebelum perang shinobi berlangsung."

​"Hei, dari mana kau bisa tahu? Saat itu aku bahkan belum dekat dengannya—" sanggah Ino malu-malu.

​Shikamaru mendengus, menatap gadis di depannya sambil tertawa. "Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Wajahmu menjelaskan segalanya." Pemuda itu berhasil membalikkan ucapan Ino sebelumnya.

​Kedai bbq semakin ramai malam itu. Tiga sekawan yang dikepalai oleh Shikamaru keluar dari kedai, memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum kembali.

​"Kudengar Sakura mengepalai divisi pelatihan khusus ninja medis, ya?" Ino membuka pembicaraan. "Wah, gadis jenong itu sungguh luar biasa! Setelah mendirikan klinik rehabilitas anak, menjadi kepala departemen rumah sakit, dan sekarang dia juga mengepalai divisi yang baru didirikan?" ujarnya takjub.

​Choji menyetujui perkataan Ino. "Pantas saja dia begitu sibuk. Dia bahkan tidak punya waktu untuk berkumpul bersama teman-temannya. Kau ingat pertemuan dua minggu lalu Ino—"

​Shikamaru tidak ikut menanggapi pembicaraan kedua temannya. Ia merasa enggan ikut terlibat dalam pembicaraan yang di dalamnya menyangkut tentang gadis bersurai merah muda yang merupakan sahabat baik Ino.

​Sudah seminggu berlalu sejak hari itu. Hari dimana Sakura menyampaikan pemikiran mengenai 'saling memanfaatkan' yang membuat Shikamaru shock.

Sejak malam itu, keduanya kembali saling menghindari satu sama lain. Mereka hanya akan bertemu dan mengobrol untuk urusan pekerjaan, meski dengan perasaan enggan dan suasana yang canggung luar biasa.

Can We Call This Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang