Aku pamit untuk bergerilya. Ditemani langit mendung, badanku compang-camping, melupa rasa khianat dan derita. Aku pamit untuk bergerilya, membawa nama bangsa, menggendong harapan bangsa, menjunjung janji sang pemudi pemuda.
Pasukan panji api masukkan aku ke dalam air. Geloraku tak berhenti padam, terus bergairah akan sebuah negeri. Walau letih imbalanku, seolah-olah diterpa hujan peluru yang tak berujung, peluh yang kutanggung semakin berdarah-darah, aku pamit untuk bergerilya.
Tuhan, tangisku menjadi-jadi karena mereka yang telah pamit, yang tumpah darah. Dengarlah hambaMu ini. Aku pamit untuk bergerilya. Bila aku tidak kembali, maka aku telah menyatu dengan tanah yang kubela.
Bandung, 1946
KAMU SEDANG MEMBACA
Bicaralah: Dunia Tidak Benar-Benar Memperhatikanmu
PoesieJika aku punya kesempatan untuk berbicara, aku akan berbicara walau dunia tidak benar-benar memperhatikan perkataanku. Untaian kata yang tadinya hanya disimpan secara pribadi oleh penulisnya. Rasanya, mereka pantas diketahui oleh dunia. Orang-orang...