Bagian 22

860 33 1
                                    

Semenjak acara adu mulut semalam, Naura dan Rendra kembali saling diam. Kali ini, Naura sudah benar-benar tidak tau lagi bagaimana cara menghadapi keduanya. Biar, biarlah mereka berbuat semaunya saja. Kini, Naura bertahan semata-mata hanya untuk Jihan.

"Mulai sekarang ayah nggak mau bunda atur-atur lagi. Juga, jangan larang ayah ketemu sama Resti" kata Rendra tiba-tiba saat laki-laki itu tengah bersiap hendak ke kantor

"Baik, silahkan ayah lakukan apa yang ingin ayah lakukan. Terserah. Bunda udah nggak peduli lagi" balas Naura merapikan dasi suaminya dan keluar dari kamar.

Melihat perubahan yang terjadi pada diri Naura yang begitu cepat, tak membuat Rendra begitu ambil pusing. Mungkin hanya karna saat ini istrinya itu sedang marah. Nanti jika semua telah membaik pasti Naura akan kembali seperti semula pikirnya.

Saat di meja makan pun, sepasang suami istri itu tetap saling diam tanpa menyadari Jihan yang sedari tadi memperhatikan keduanya.

"Ayah, bunda..kenapa pada diem?" tanya Jihan begitu polosnya.

"Nggak..nggak papa sayang. Kan kita lagi makan, jadi nggak baik kalau sambil ngobrol"

"Betul kata bundamu sayang. Yaudah, Jihan selesaiin sarapanya ya terus kita berangkat. Ayah tunggu di depan" kata Rendra bangkit dari duduknya.

Sementara Naura, hanya diam saja tak berniat untuk menegur atau mengomeli suaminya yang tak menghabiskan makanannya. Padahal, dirinya sudah memasakkan makanan kesukaan Rendra agar laki-laki itu bisa sedikit luluh.

Setelah Naura dan Jihan selesai sarapan, keduanya pun lantas menuju ke halaman dimana Rendra telah menunggu. Tak lupa, bekal makan siang yang sudah Naura siapkan.

"Nih bekal ayah sama Jihan" kata Naura menyerahkan dua tempat makan.

"Makasih bunda" kata Jihan menerima bekal tersebut.

"Ayah nggak usah, nanti makan di kantin aja" kata Rendra dengan ketus.

"Yahh..."

"Yuk Jihan, kita berangkat sekarang. Nanti keburu telat" sahut Rendra yang langsung menggandeng tangan mungil Jihan.

Tanpa memperdulikan Naura, Rendra membukakan pintu mobil untuk Jihan disusul dirinya sendiri yang memasuki mobil lantas menjalankan begitu saja tanpa berpamitan seperti biasanya. Pergi. Benar-benar pergi meninggalkan Naura yang masih mematung di tempatnya.

Tak sadar, air mata telah membasahi pipi mulusnya akibat hati yang terasa remuk redam. Baru pertama kali inilah selama pernikahan mereka yang sudah berjalan hampir sembilan tahun Rendra bersikap demikian kepadanya.

"Ya Allah, semoga aku masih bisa bertahan" Batin Naura sembari menatap mobil Rendra yang perlahan menghilang dari pandangan.


*****

Tok tok
Tok tok

Suara ketukan pintu yang disusul dengan salam, menghentikan kegiatan Rendra yang tengah memeriksa sebuah laporan di tanganya. Dari suara, dirinya seperti mengenalinya.

"Masuk"

"Abang lagi sibuk banget?" tanya Raina begitu mengambil tempat duduk di depan abangnya. Ya, Raina lah yang datang.

"Enggak. Ada apa? Tumben kesini"

"Rain cuma mau mau mastiin, apa selama ini abang sering ketemuan sama mbak Resti?"

"Iya. Memang kenapa? Naura pasti udah ngadu yang enggak-enggak sama kamu"

"Ya ampun abang...mbak Ra tu nggak pernah ya bilang apa-apa sama Rain dan bisa-bisanya ya abang masih tanya kenapa. Abang nggak pernah gitu mikirin gimana perasaan mbak Ra?" tanya Raina tak habis pikir dengan kelakuan abangnya ini.

"Naura pasti ngertilah gimana posisi abang. Lihat, mama udah wanti-wanti abang buat selalu jagain dan nurutin apapun kemauan Resti." kata Rendra sembari menunjukkan ponselnya ke arah sang adik.

Disana, banyak pesan dari mama Alya yang selalu menyuruh dan mengingatkan Rendra untuk selalu perhatian dengan Resti serta menjaganya karna wanita itu adalah sahabatnya dan disinipun hanya tinggal bersama mamanya yakni tante Reni.

"Lagian ngapain si kamu kesini cuma mau bahas itu doang" lanjut Rendra

"Astaga....mama kenapa seperti itu sih. Kamu juga bang, kamu itu laki-laki, yang tegas dong jadi orang. Udah jelas kayak gitu tu salah masih aja cuma diem" kesal Raina tanpa menanggapi perkataan abangnya.

"Nggak ada salahnya Rain kita bantu orang"

"Bantu sih bantu. Tapi kalau sikap abang seperti ini terus, jangan salahin jika mbak Naura suatu saat akan ninggalin abang"

Brakkk

Meja di depan mereka di gebrak dengan sekuat tenaga oleh Rendra. Bisa-bisanya adiknya ini bicara seperti itu padanya. Dan mulai kapan Raina menjadi sangat berani seperti ini.

"Rain. Jaga bicara kamu ya, nggak mungkin Naura akan pergi"

"Loh, nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini bang. Sekarang aku tanya sama abang, semisal aku punya suami terus diabaikan dan nggak di perhatiin sama sekali. Apa yang bakal abang lakuin?"

"Tentu aja abang akan hajar orang itu abis-abisan dan menyuruhmu untuk pisah sama dia. Apa gunanya jika punya suami seperti itu"

"Nah kan. Mbak Ra itu masih punya orangtua lengkap bang. Mereka pun pasti nggak akan terima jika putrinya disakiti. Aku nggak bermaksud menggurui abang, hanya saja sebelum terlambat jauhi mbak Resti demi kebaikan kalian berdua. Dan maaf kalau Rain udah ikut campur masalah rumah tangga abang karna biar bagaimana pun aku sayang sama abang juga mbak Ra. Rain kesini juga karna mau memastikan aja perkataan mama yang katanya abang deket sama mbak Resti bener apa enggak, bukan karna mbak Ra yang ngadu ke Rain seperti kata abang tadi" kata Raina panjang lebar

Rendra sendiri hanya terpaku dan tak bisa berkata-kata sebab semua yang di katakan adiknya benar adanya sampai kepergian Raina pun laki-laki itu tak menyadarinya sama sekali.

_____________________

Daerah kalian udah ada yang ujan? Di tempat Relca Alhamdulillah udah mulai gerimis tipis-tipis nih. Semoga yang belum segera menyusul ya.

Sayang kalian banyak-banyak😘😘😘😘

Goresan Luka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang