"Ada apa lagi, Aksel?!"
Sebisa mungkin Aksel menghindari tatapan sang ibu yang terlihat jengkel kepadanya, wanita itu bahkan sudah ada di apartemen putranya sejak siang, untuk menunggu pria itu pulang.
"Baju yang Marcella gunakan bukan dari brand mewah?" cecar sang ibu saat tidak ada jawaban dari pria itu. "Atau sepatu dan tas yang dia punya pernah kamu lihat dipakai orang lain?" sindirnya.
"Aku nggak permasalahkan hal itu, Mi," balas Aksel.
"Terus apa?" Amara tampak frustrasi, wanita itu mendudukkan diri di sofa seberang yang putranya duduki. "Kamu selalu mempermasalahkan penampilan orang lain, Aksel."
Aksel diam, memang hal itu yang biasa dia lakukan. Entahlah harus bagaimana membuatnya terbiasa dengan orang-orang yang berbeda selera dengan dirinya.
"Marcella itu model. Berasal dari keluarga old money yang akan mewarisi kekayan orangtuanya. Berpasangan dengan dia nggak akan membuat kamu terlihat miskin."
"Mami." Aksel ingin menyangkal tuduhan sang ibu. Namun nyatanya, hal itu yang kerap membuatnya merasa takut.
Aksel tidak suka dengan cara sang ibu menatapnya. Wanita itu terlihat iba. Apa sebegitu menyedihkannya dirinya.
Amara mengamati ruangan tempat mereka berada, lalu bertanya apakah Aksel merasa nyaman di sana.
"Kenapa Mami tanya seperti itu?"
"Sampai kapan kamu akan menghindari bayanganmu sendiri?"
Aksel ikut mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Bukankah wajar tidak ada cermin di ruang tamu seperti ini?"
"Di manapun. Mami bahkan tidak menemukan benda itu di manapun, bahkan di kamar kamu. Apa kamu nyaman seperti itu." Amara kembali memberikan tatapan iba pada putranya, Aksel lagi-lagi membuang muka.
"Menghadapi apa yang menjadi ketakutan kamu, mungkin akan membuatmu terbiasa dengan hal itu." Amara beranjak berdiri, sepertinya wanita itu bersiap akan pergi. "Dua hari lalu Kasandra hubungi Mami, katanya kamu sudah lama tidak menemui dia. Dia berharap kamu sudah tidak membutuhkan dia lagi. Tapi sepertinya kamu memang harus ke sana," imbuhnya.
Sebelum benar-benar pergi, Amara kembali membisikkan sesuatu, tentang Kasandra yang wanita itu yakin bahwa sang putra pasti menyukainya. Aksel pura-pura tak acuh mendengarnya.
Setelah benar-benar sendiri, Aksel beranjak dari duduknya dan menghampiri cermin yang ia tutup dengan kain putih di kamarnya.
Aksel menatap cermin besar di hadapannya. Untuk kali ini, dia mencoba berlama-lama di hadapan benda yang selama ini ditakutinya.
"Menghadapi apa yang menjadi ketakutan kamu, akan membuatmu terbiasa dengan hal itu." Aksel bergumam pelan, kalimat sang ibu bagaikan mantra yang ia ucap berkali-kali dalam hatinya. Tapi bayangan itu tetap ada.
"Juro, dengarkan ayah. Tetap di sini dan jangan pernah keluar sebelum ayah minta." Seorang pria menyuruh putra kecilnya bersembunyi sebelum dia menemui tamu yang terdengar tidak sabar menggedor pintu.
Juro nama bocah kurus itu, lusuh dan ketakutan. Duduk bersembunyi di bawah meja setiap sang ayah menyambut tamu yang tidak ramah pada mereka.
Dari kaca lemari yang berada di kontrakan sempit itu, Juro bisa melihat sang ayah dipukuli berkali-kali dan hampir mati.
Juro semakin merangsek pada dinding, gemetar mengigit kuku jemari tangannya dengan kuat, bukan kali pertama dia melihat pemandangan sedemikian rupa. Tamu mereka meninggalkan sang ayah terkapar di lantai, pria itu menatap ke arahnya dan tersenyum, seolah berkata tidak apa-apa. Dan Juro mendapati jemarinya berdarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amor Fati
ChickLitPengalaman buruk di masalalau membuat Akselio begitu takut dengan kemiskinan. Kenyataan bahwa dirinya sudah terlepas dari masa itu nyatanya tidak bisa membuatnya merasa tenang. Hingga kedatangan seorang gadis bernama Sarah, banyak mengajarkan tenta...