Keputusan

1.1K 326 85
                                    

Aksel tengah sibuk di balik meja kerjanya, saat Jimmy masuk ke dalam ruangan dan meletakan kotak berisi ponsel baru -yang dia beli- di hadapannya.

Setelah melirik benda itu, Aksel beralih menatap wajah Jimmy yang tersenyum penuh kemenangan.

Aksel menghela napas. "Baiklah," balasnya pasrah. "Apa yang kamu mau dariku," imbuhnya.

Sungguh Aksel tidak menyangka harga diri orang miskin lebih tinggi dari yang dia kira. Dia semakin penasaran dengan arti kaya yang disampaikan gadis amor fati itu kepadanya.

"Saya ingin anda mengikuti saran Nyonya Amara, Pak."

"Kamu bersekongkol dengannya?"

"Tidak," balas Jimmy.

Aksel curiga, sebenarnya apa yang mereka rencanakan untuk dirinya. Tapi dia memilih mengabaikannya saja.

"Aku menerima tawaran Marcella untuk bertunangan." Aksel menyampaikan berita yang membuat Jimmy terkejut.

"Sungguh?" tanya pria itu tidak menyangka. "Anda tidak bercanda, Pak?"

Aksel menjelaskan alasannya menerima tawaran itu, tidak lain hanya agar urusan bisnisnya dengan keluarga Marcella akan dipermudah nantinya.

"Apa hanya karena hal itu, atau anda memang sengaja ingin membuat dokter Kasandra menyadari perasaannya?"

Kalimat itu membuat Aksel menghentikan coretan penanya di atas kertas, mendongakkan kepala menatap pria di hadapannya. Apa memang alasannya karena Kasandra, dia sendiri bahkan tidak menyadarinya.

***

Sarah tertarik dengan cincin bertuliskan amor fati yang Jimmy kenakan, dia lalu menunjukkan tato kecil bertuliskan kata yang sama di lengannya. Setelah itu entah kenapa mereka jadi akrab.

Dari Jimmy Sarah jadi tahu bahwa Aksel  pernah mengalami kejadian traumatis di masalalu, yang menyebabkan pria itu jadi seperti ini. Tapi yang Sarah tidak mengerti, untuk apa Jimmy mengatakan hal itu kepadanya. Mungkin agar Sarah memaafkan kelakuan pria itu, sungguh tidak akan mudah.

"Cing Ntong jangan bilang ibun ya, sebenernya Ija nggak ada temen di sekolah."

Langkah Sarah yang ingin masuk ke dalam rumah kemudian terhenti, perempuan itu menguping obrolan Mahija dengan Aru.

"Emangnya kenapa Ija nggak punya temen?" Aru yang sibuk dengan buku-buku pelajarannya di atas meja menyempatkan diri untuk menoleh.

"Soalnya kata temen-temen, Ija nggak punya baba." Meski tangannya sibuk bermain robot-robotan, tapi dari balik pintu, Sarah bisa menangkap kesedihan di raut wajah bocah itu.

Aru mengusap puncak kepala Mahija dengan sayang. "Kan ada Baba Fandi," hiburnya.

Mahija menggeleng. "Kata mereka, itu bukan baba kandung Ija."

"Yaudah kalo mereka nggak mau main, Ija main sendiri aja, nggak penting banyak temen. Cing Ntong juga temennya sedikit." Aru memberikan solusi yang membuat Sarah gemas sekali. Anak kecil seperti Mahija tentu saja perlu banyak teman untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.

"Tapi kan Ija juga pengen main sama mereka, di kelas Ija selalu sendirian." Mahija kembali bercerita, kali ini raut sedih di wajahnya benar-benar kentara. Sepertinya anak itu ingin menangis mengingat perlakuan teman-temannya.

Aru terlihat berpikir, Sarah tahu pemuda itu juga sedih, tapi tidak ingin menunjukkannya. "Ija tau Singa, 'kan?"

Mahija mengangguk. "Tau."

"Dia juga sendirian. Singa nggak bergerombol kaya kambing. Kalo Ija sendirian, berarti Ija itu Singa, bukan kambing."

Mahija diam, bukannya terlihat senang anak itu malah semakin menekuk wajahnya. "Tapi Ija pengen jadi kambing."

Amor FatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang