Perasaan

1.3K 322 116
                                    

Sarah merasa terkejut saat tiba-tiba Aksel muncul dari balik tubuhnya dan mencegah perempuan di hadapan mereka yang ingin membuka topeng dari wajahnya.

"Maaf, sepertinya tunanganku merasa terganggu. Jadi, mohon biarkan kami pergi." Aksel berkata penuh karisma pada perempuan itu, sepertinya mereka terpana, karena sampai Aksel membawa Sarah pergi dari sana, ketiganya masih diam saja.

"Apa yang kamu lakukan dengan mereka?" tanya Aksel setelah menghindar ke sudut ruangan yang cukup sepi, lalu melepaskan lengan Sarah dari cengkramannya.

"Aku nggak ngapa-ngapain, mereka yang tiba-tiba nyamperin aku." Sarah menjelaskan duduk permasalahannya.

Aksel terlihat khawatir, tentu saja mungkin karena reputasinya sendiri. Sarah tidak berani berpikir bahwa pria itu akan mengkhawatirkan dirinya. "Ada percakapan di antara kalian?" tanyanya memastikan.

Sarah menggeleng. "Aku nggak berani buka suara," ungkapnya.

"Baguslah," jawab pria itu lega.

"Apa Marcella dengan tiga perempuan itu keluarga?" tanya Sarah, karena musuh biasanya justru berasal dari orang yang dekat dengan kita.

"Sepupu."

"Sepupu? Sama kaya aku, nggak pernah akur sama sepupu," ungkap Sarah yang memaklumi hal itu.

"Ada apa dengan persepupuan di antara para wanita. Apa semua perempuan di luar sana juga seperti itu?" sindir Aksel.

"Nggak semua sih," balas Sarah sekenanya. Dia jadi teringat pada Maemunah yang tidak pernah akur dengan dirinya. Tapi tidak semua sepupunya seperti gadis itu tentu saja.

Aksel menjelaskan bahwa Marcella pernah bercerita bahwa dia tidak akur denga ketiga sepupunya. Dia lalu melarang Sarah untuk dekat-dekat mereka selama pesta.

"Kenapa sepupu Mbak Marcella benci sama dia? Apa Karena Mbak Marcella lebih sukses dari mereka? Tapi kenapa harus dibenci." Sarah tidak habis pikir kenapa mereka terlihat keki sekali.

"Karena bagi mereka, membenci itu lebih mudah daripada harus menyainginya."

Sarah diam, membenarkan dalam hati. Terkadang apa yang dikatakan pria itu suka ada benarnya.

Tiga sepupu Marcella kembali memperhatikan gerak-gerik mereka. Aksel sepertinya  menyadari itu dan lalu merangkul bahu Sarah, membawanya pergi dari sana.

"Sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Aku akan menyuruh Jimmy untuk membawamu."

Sarah tahu Aksel sedikit memelankan langkahnya saat keluar dari ruangan tempat diselenggarakan pesta, mengimbangi langkah Sarah yang kesulitan dengan gaun panjang yang dikenakannya.

"Boleh dibuka nggak sih ini, aku nggak nyaman."

Aksel tengah sibuk berbicara di balik sambungan telepon dengan Jimmy saat Sarah meminta pendapat.

Belum pernah Sarah berdandan setebal ini hanya untuk ditutupi dengan topeng, lalu untuk apa gunanya mereka merias wajahnya.

Sungguh kelopak matanya terasa berat dan gatal, dia lalu melepaskan topeng itu sembari berjalan. Sudah ia pastikan tidak ada siapa-siapa di sana selain mereka. Hingga saat berbelok dan hampir sampai ke parkiran yang akan dituju, ternyata di sana ada beberapa wartawan yang tampak menunggu. Aksel reflek memeluk Sarah dan menyembunyikan wajah perempuan itu.

"Aduh!" Sarah yang terkejut tidak sengaja menjatuhkan topeng di tangannya.

"Sial, kenapa mereka ada di sini?!" rutuk Aksel bersembunyi, tapi sepertinya para wartawan itu menyadari kedatangannya.

"Pak Aksel!" Mereka mengejar dan Aksel segera menarik lengan Sarah, lari sejauh mungkin dari sana.

Aksel meminta Sarah untuk merunduk di antara barisan mobil. Sarah gagal fokus saat menatap pergelangan tangannya dicengkram erat oleh pria itu. Bukan semata karena merasa nyaman, tapi tato kecil di urat nadi Aksel membuatnya memikirkan satu hal. Pria itu sedang tidak baik-baik saja.

Amor FatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang