Menyerah

1.7K 260 61
                                    

Sarah yang tidak tahan dengan semua kalimat pedas Aksel memilih untuk pergi dari tempat kerja pria itu. Sebelum masuk ke dalam mobil taxi yang kebetulan berhenti untuk menurunkan penumpang, dia bertemu dengan Jimmy. Tapi Sarah mengabaikannya dan memilih menyuruh supir taxi itu untuk segera membawanya pergi.

"Jalan dulu aja, Pak. Nanti saya kasitau mau kemana," ucap Sarah sembari menahan suaranya untuk tidak meraung. Dia terus menangis.

Tanpa berkata-apa-apa, si bapak sopir taxi itu memberikan sekotak tisu yang langsung diterima Sarah. "Terimakasih," balas Sarah.

Entah berapa lembar tisu yang Sarah tarik dari kotak di pangkuannya, tapi dia masih terus menangis.

"Pak? Bapak miskin apa kaya?" tanya Sarah  yang masih sesekali tersedu karena tangisannya. Hatinya benar-benar terasa sakit.

"Kalo saya kaya, saya nggak jadi sopir, Neng," balas si bapak dengan sedikit terkekeh.

"Kalo nanti bapak jadi orang kaya, bapak bakalam sombong nggak?" tanya Sarah lagi.

Si bapak terlihat menggaruk kepala. "Nggak tau ya, Neng. Belum pernah kaya soalnya."

Sarah semakin tersedu, biasanya dia tidak secengeng ini. Tapi entah kenapa ucapan Akselio yang membawa-bawa keluarganya benar-benar membuatnya terluka, belum lagi dia memang salah telah menghilangkan cincin seharga satu miliar.

Tapi yang paling membuatnya sedih untuk saat ini, adalah keputusannya yang memilih masuk ke mobil taxi. Ongkosnya pasti mahal sekali.

"Kaya dan miskin itu sama-sama ujian, Neng. Jangan sedih jika kita terlahir miskin, pun jangan sombong jika kita seandainya kaya. Semua hanya ujian." Si bapak berucap bijak.

"Jika memang kaya dan miskin itu ujian, saya siap kok diuji dengan kekayaan, Pak," balas Sarah.

"Saya juga mau, tapi kan kita tidak bisa memilih. Tapi setidaknya kita masih bisa berusaha, Neng."

Sarah membenarkan hal itu, dia teringat sesuatu dan ingin memastikan sekali lagi lewat cctv di kafe tempat hilangnya cincin itu. Dia lalu menyuruh si bapak sopir taxi menuju ke sana.

Setelah membayar ongkos taxi, Sarah keluar dari mobil. Dia sempat melihat motor Janu melesat pergi dari tempat itu, tapi apakah itu benar Janu. Untuk apa pria itu kembali ke sini.

***

"Apa menurutmu aku harus minta maaf?" Aksel berada di ruangan kerja Kasandra, duduk di hadapan wanita itu yang entah tengah menuliskan apa di atas mejanya.

Kasandra mendongak, tatapannya tampak meneliti. "Sejak kapan kamu bisa peduli pada perasaan orang lain?" tanyanya.

Aksel tidak menjawab. Sesampainya di tempat ini tadi, dia memang langsung menceritakan masalahnya dengan gadis bernama Sarah. Pria itu memang selalu mengandalkan Kasandra saat dirinya sedang gelisah. Kasandra selalu bisa menenangkan hatinya.

"Sungguh ini suatu kemajuan, Aksel." Kasandra terlihat senang.

Benarkah? Aksel kembali mengenang kapan terakhir dirinya berempati pada orang lain. Sepertinya memang belum pernah, kecuali pada Jimmy dan keluarganya. Itupun lebih banyak mereka yang mengalah.

"Jadi gadis itu menggantikan posisi Marcella bertunangan denganmu?" Kasandra memberikan kesimpulan.

Tapi Aksel merasa, bukan hal itu masalahnya. "Pertunangan kami tetap sah, meskipun itu bukan Marcella."

Kasandra sedikit tertawa. "Apa hubungan kalian memang seserius itu?"

"Tentu saja." Aksel melipat lengannya di depan dada, bersandar pada kursi yang didudukinya. Pria itu tidak berani menatap mata Kasandra, karena pasti akan mudah terbaca bahwa dia tengah berdusta.

Amor FatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang