CERPEN #7: Kasih Ibu

5 2 0
                                    

Kala itu, Budi ingin ibunda mati.

Dia termenung di ujung dipan. TV yang menampilkan drama perceraian menyala untuk menghibur sang ibu. Pukul enam sore adalah waktu emas bagi kalangan ibu-ibu. Sinetron yang menampilkan segala keluh kesah diputar di setiap saluran. Mereka hendak membanding-bandingkan nasib siapa yang paling nestapa. Hingga ketika menjumpai suami mereka tidak lekas pulang atau ada tamparan merah di bekas pipi kiri, mereka akan tersadar, "Mengapa aku berumah tangga?"

Mereka terhibur menyaksikan penderitaan orang lain. Tampaknya, mereka tahu alasan apa yang akan menariknya ke jurang neraka. Betapa besar dosa para ibu-ibu kalau dipikir. Bahkan, apakah ibu Budi sakit-sakitan karena dosa itu?

"Buk, sudah selesai mengunyah?" tanya Budi bernada lembut, ia memegangi semangkuk bubur.

Sang ibu memalingkan pandangan, yang awalnya fokus menonton drama perceraian, kini menatap lekat-lekat putra semata wayangnya. Matanya sendu memandang Budi. Meski rasa lelah digerogoti sakit terukir jelas di pandangan, tetapi ibu masih sanggup menguarkan kehangatan. Bahkan, rambut lusuh sebahu yang mulai rontok menunjukkan badannya sudah jauh dari kata 'tidak apa-apa'. Kanker ibu sudah terlalu parah.

Sang ibu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Budi. Dia tersenyum tipis untuk memberikan pertanda kepada Budi bahwa ia boleh memasukkan satu suapan ke mulut rentanya.

Budi pun membalas senyum sang ibu dengan seringai ikhlas yang lebar. Ia menggerakkan sendok kayu yang diisi setengah saja agar mudah dikunyah. Dengan lahapan yang penuh, suapan di tangan budi sudah kosong. Budi pun kembali mengalihkan pandangan ke mangkuk bubur yang masih terisi setengah.

Sudah sejam, batin Budi.

Budi ingin menangis sejujurnya, tetapi ia tak tega. Matanya hitam dan gurat lelah tergambar jelas di sana. Ia hanya tidur dua setengah jam hari ini, setidaknya lebih banyak setengah jam daripada kemarin. Bagaimana ia bisa beristirahat jika waktu makan sang ibu membutuhkan dua jam lamanya? Belum lagi, dia harus menambal atap yang tiba-tiba berlubang sebab terhempas hujan deras di awal Bulan April. Lampu sudah berkedip-kedip dan suara sengatan arus listrik merambat sedari kemarin. Budi harus segera memperbaikinya, atau tidak ia harus menghabiskan malam dalam gelap bersama sang ibu.

Kasihan ibu Budi jika lampu harus mati sebab ia tidak akan bisa menonton drama perceraian itu lagi. Hanya itu satu-satunya hiburan bagi wanita separuh abad tersebut. Setahun ini, ia tak lagi mampu berbicara. Ia juga tak bisa berjalan, bahkan sekadar mengangkat sendok bubur sendiri. Ia hanya mengandalkan Budi sebagai harapan satu-satunya.

Budi pun juga tahu. Remaja yang baru lulus SMA ini paham tanpa diberi tahu. Bagaimanapun juga, ia harus kuat untuk sang ibu. Ia harus tahan membuka mata meskipun hanya tidur sewajarnya. Ia mesti mampu lekas membenarkan atap rumah walaupun tangan dan kaki sudah gemetaran saking lelahnya ia. Uang pun tidak ada, hanya cukup untuk makan seminggu ke depan. Lantas, dari mana Budi dan sang ibu bisa melanjutkan hidup.

"Buk, semangat terus!" hibur Budi tersenyum. "Makan yang lahap, biar ibu bisa menang lawan penyakitnya. Ibu harus bertahan selama mungkin ya?"

Sang ibu mengangguk. Tanpa perlu dibicarakan, ia tahu sang putra semata wayang telah di ujung batas. Budi lelah, tetapi ia enggan menyerah. Ia bertarung habis-habisan. Karena itu, sang ibu akan menang sama kuatnya selama mungkin. Meskipun Budi sempat mempertanyakan takdir kepada Sang Pencipta, ia akan sabar untuk sang ibu lebih lama lagi.

Penderitaan ini akan berakhir, sebagaimana bubur yang akan habis dalam satu jam lagi. Begitu pikir Budi.

"Ayo, Buk. Buka mulut lagi." Budi menyuapkan satu sendok.

Sang ibu membuka mulut untuk bersiap. Mereka berdua harus cepat-cepat mengakhiri makan agar bubur bisa habis dengan keadaan enak. Hari ini, semoga bisa habis lebih cepat daripada dua jam—

Ibu Budi tiba-tiba memuntahkan bubur yang sudah ditelan satu jam sebelumnya.

Budi tersentak ingin menangis dan kecewa dalam sekejap. Ia bergegas mengelap muntahan yang meluber di daster dan dipan. Pikirannya kalut dan ingin meledak. Bagaimana tidak, perjuangan satu jam lamanya untuk menyuapi kini sirna tak berguna. Belum lagi, ia harus mencuci baju dan seprei.

Ia ingin marah kepada Tuhan yang tiba-tiba menjatuhi cobaan seperti ini. Mengapa harus sekarang? Hingga Budi harus dibuat semakin lelah setiap hari, sedangkan sang ibu semakin kesakitan setiap waktu. Kapan ini berakhir dan bagaimana Budi bisa bertahan?

Hingga Budi ingin menangis kelelahan, ia merasakan belaian halus mengelus pipi kirinya. Ia bergegas mendongak dan terlepaslah bulir air mata setelah menyaksikan apa di depannya.

Sang ibu tersenyum lembut. Bekas muntah yang masih menempel di ujung bibir tak dipermasalahkannya. Ia mengangguk ikhlas dan tidak berharap lebih dari sang putra semata wayang. Menghabiskan sisa umur yang tinggal hitungan jari dengan Budi sudah cukup baginya.

Maka, Budi pun tersadar.

Aku ikhlas kepada-Mu, Tuhanku.

Kapan pun itu, aku rida.

Ibuku adalah milik-Mu.

[]

Cerpen ini ditulis untuk mengikuti event keluarga oleh penerbit indie.

Resensi, Relaksasi, Rekreasi, dan Re- Re- Re- LainnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang