CERPEN #4: If The World Went Silent

6 2 0
                                    

[921 kata]

Satu detik.

Ansit membelalakkan mata lebar-lebar, memandang keluar jendela yang ia geser terbuka. Layar komputer masih menyala berkedip-kedip. Gadis berambut hitam itu menelisik sekitar. Diam. Ke mana perginya semua orang?

Ansit memasang kunciran rambut yang ia letakkan menggelantung di atas kotak pensil. Terburu-buru, gadis di pertengahan usia dua puluh lima tahun ini mengambil mukena untuk menutupi perhiasan yang tak boleh para pria lihat. Apa yang barusan aku lewatkan?

Ansit meninggalkan ketikannya terhenti tak ia simpan. Gadis berdarah Minang ini bergegas keluar dari kamar kayunya yang berdiri kokoh di atas rumah tua. Memasang sandal yang terbalik kiri dan kanan, Ansit tak peduli. Ia menengok setiap sudut perumahan, mencari seberkas suara yang bisa ia dengar. Kenapa tiba-tiba begini?

***

Satu jam.

Ansit mengetik ratusan nomor untuk ia ajak bicara. Hening. Hanya suara telepon yang berdering tut-tut yang menggetarkan gendang telinga. Janganlah bercanda hari ini!

Ansit tak peduli kepada layar monitor yang berkedip di depannya. Pointer ketikan yang muncul-menghilang terus menyapa, tapi tak ia hiraukan. Gadis yang masih mengenakan mukenah putih itu masih kalang kabut mengetuk layar ponsel yang ia genggam gemetar. Kawan, ini sudah tidak lucu!

Ansit melompat keluar dari dudukan. Ia menyahut kunci berlogo Yamaha yang bergelantung di paku berkarat yang bertengger di samping almari. Gadis yang kini berkeringat deras ini menyalakan kuda besi yang berlapis pigmen merah, lalu ia starter kencang-kencang. Aku akan menemukan kalian!

***

Satu hari.

Ansit membuka mata hitamnya lebar-lebar. Masih terbaring di atas dipan kapuk berwarna merah muda, ia bergegas bangkit. Gadis yang tinggal sendirian ini seketika mendongakkan kepalanya ke atas pintu kamar. Melihat jam dinding, dia bernapas naik-turun mengecek apakah dunia sudah berakhir. Tidak, dunia memang berakhir.

Ansit kembali menjatuhkan tubuhnya yang sudah lemas. Kemarin, dia tidak menemui sesosok makhluk pun di komplek perumahan yang ia susuri penuh khawatir. Menjatuhkan tangan ke atas kedua mata, Ansit menutupi tangisan sedih. Mengapa hal yang seperti ini malah menjadi nyata?

Ansit tertidur, lalu terbangun. Namun, Ansit masih tertidur dan tak terbangun. Kacau. Gadis yang harus mempersiapkan berkas lamaran pekerjaan ini malah harus melepaskan impiannya setelah memindahkan tali toga. Semua perjuangannya sia-sia. Dunia telah berakhir. Sepi. Seluruh makhluk menghilang pergi. Kapan ini akan berakhir?

Menyala berkedip-kedip, layar komputer Ansit masih tak ia hiraukan. Akal gadis muda ini tak sanggup berjalan lagi. Dirinya hampir tak waras.

Ansit bisa mendengar detak jantungnya.

Ansit bisa mendengar deru napasnya.

Ansit bisa mendengar suara semesta yang menarik-narik dari kegelapan hampa.

Ansit hanya sanggup bergulingan di atas dipan reyot. Dia ingin menangis, tapi tak ada yang menitik. Gadis yang masih mengenakan mukenah di badan ini tak sanggup makan dan mandi, ia berusaha memutar otak keras-keras.

" .... "

Ansitu! Suara bapak yang telah membesarkan gadis yang hampir mati dalam keheningan ini seketika terlintas di benak.

Ansit mengingat sang bapak ketika berkhutbah. Setiap hari Jumat, bapak Ansit selalu menyerukan kata itu di atas mimbar. Apa arti namaku?

Diamlah!

Ansit mendelik tak karuan. Apakah sang bapak tega mengutuknya? Apakah sang bapak dendam kepadanya? Aku tak tahu.

***

Satu minggu.

Ansit mencuci piring-piring kotor, sekaligus periuk yang menyisakan nasi keras. Dengan wajah datar dihinggapi kelelahan, gadis yang masih menggunakan mukenah ini masih belum keluar dari "akhir dunia". Mengapa aku masih ada di sini?

Ansit menekuk bibir dalam-dalam. Dia membodohkan dirinya. Sang bapak sudah meninggal sejak ia masih mengaji a-ba-ta. Bagaimana dia bisa menabur dendam di kuburan sang bapak? Bapak pasti senang di kuburan sana. Bapak itu orang soleh yang selalu membuatku iri.

Ansit berusaha hidup di dalam keheningan yang tak berujung. Ia tak perlu memikirkan uang. Gadis yang baru lulus kuliah ini tinggal mampir ke toko kelontong untuk mengambil Pepsodent dan Bimoli untuk memenuhi lemari dapur. Aku malah senang.

Ansit mulai menikmati keheningan. Sesekali, dia mengecek ponsel dan mencoba menghubungi kontak-kontak yang masih mendiamkannya. Kini, Ansit mengejek ratusan teman yang ada di ponsel. Aku bisa hidup lebih bahagia daripada kalian.

Tak ada jawaban, tak ada kabar. Ansit benar-benar sendirian. Seharusnya dunia sudah kiamat, tapi matahari masih terbit dari ujung timur. Sang mata satu juga belum mengguncang Madinah. Apalagi, Imam Mahdi dan Isa Almasih, mereka masih belum mengguncang tanah yang kian menua. Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Satu bulan.

Ansit menyalakan MP3 kencang-kencang. Dia menancapkan ponselnya di pengeras suara yang selalu segan ia nyalakan. Memutarnya kencang-kencang, ia hidup dengan bangga. Meski sepi dan sendirian, batasan sudah menghilang. Ini adalah surga!

Ansit mencuci pakaian dan mengepel lantai. Dia mengerjakan dengan gembira. Kekhawatirannya sudah lenyap, menghilang tak bersisa. Memangnya sampai berapa lama ini bisa terjadi ....

Satu tahun.

Ansit hanya bisa mengedipkan kedua mata. Dengan urat-urat yang kian menegang, dia kembali dihinggapi ketakutan. Keringat membanjiri pelipis dan seluruh pinggang. Ansit akan terbiasa ... gila.

Makanan perlahan membusuk. Tanggal yang ia pelototi di setiap kemasan mulai jatuh satu per satu. Waktu Ansit sudah tak lama lagi. Mati dilahap lapar atau mati ditimbun waktu. Aku benar-benar akan tamat.

***

'TIT! TIT! TIT!'

Sebuah suara terdengar dari layar komputer yang ia tinggalkan berdebu. Dengan pointer yang masih muncul-menghilang, mesin ketik itu membunyikan suatu pengingat.

Bergegas ke hadapan layar, Ansit membaca pengingat kuning yang mengganggu kesunyian.

"Bapak." Pengingat yang berkedip itu menuliskan kata itu.

Sontak mata Ansit terbelalak lebar. Ia membuka semua pintasan yang ia hiraukan selama mengetik berkas lamaran.

"Ibu meneleponku," ucap Ansit membeku diam. "Aku mem-pause-nya."

Di hari kematian sang bapak, Ansit terlupa.
Di kala sang ibu membawa kabar, Ansit terbuai.

Ansit menghentikan akhirat. Sang Pemilik Dunia menamatkan makhluk-Nya.

Terbangun, Ansit menangis. "Bodohnya, oh bodohnya."

Baru setahun! Entah kalau lebih. Buta atau bisu, mungkin. Namun, satu hal yang pasti.

Dunia sudah membuat Ansit "tuli".

[]

Cerita ini ditulis untuk memeriahkan event nyepi yang diadakan oleh Written in Action Indonesia pada 22 Mei 2022.

Resensi, Relaksasi, Rekreasi, dan Re- Re- Re- LainnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang