CERPEN #2: Tanpa Busana

3 2 0
                                    

[854 kata]

Sendirian.

Hari ini sama seperti kemarin. Seorang wanita membentak sang putra, lalu ia memeluknya. Dia memukul pantat kecil sang putra, lalu ia mengelus lembut pipinya. Ibu, hari ini mau ke mana?

Sang wanita yang dipanggil "ibu" oleh anak kecil bermata sembab, hanya terdiam. Mengorek-orek lemari untuk mencari benda berkilau, giwang dan liontin ia obrak-abrik. Diterpa sinar matahari, perhiasan yang ada di genggamannya mengilap. Menyilaukan mata sang putra, mutiara-mutiara licin tampak banyak mencuat. Ibu, ayo tidur denganku!

Sang ibu tak menjawab putranya. Dia sibuk menyimpan perhiasan-perhiasan yang ada di rangkulannya ke dalam sebuah tabut. Bagai Taurat yang ia agung-agungkan, wanita berambut licin ini meletakkan mutiara-mutiara di genggaman tanpa banyak menatap. Ibu, aku menyayangimu.

Sang ibu membeku diam. Peti yang ia agungkan bagai wahyu Tuhan sontak ia lupakan. Terhenti dari langkahnya menjangkau lemari tertinggi, ia menoleh kepada bocah kecil yang memanggilnya. "Kuta, ibu juga menyayangimu."

Sang wanita cantik yang berkaca-kaca mengelus putranya mematung kebingungan. Tersenyum. Dia hanya sanggup mengangkat bibirnya yang basah. "Maaf Ibu tak punya banyak waktu, Kuta."

Ibu dari bocah bernama Kuta itu seketika berlutut menyamai sang putra. Dia mengecup Kuta sampai berbekas merah. "Kuta, tidurlah!"

Aku tak tahu harus merengek pada siapa. Aku ingin Ibu memperhatikanku, tapi Ibu selalu memandang tabut yang selalu ia rangkul.

Ibu, aku menyayangimu.

***

"Ibu pulang memakai bra."

Kuta berpura-pura terlelap saat pintu reyot kamar dibuka. Cahaya remang-remang yang merangsak melintang mengganggu kedua bola mata. Berkedut kecil, Kuta berdoa agar sang ibu tak menyadarinya.

Sepi. Hari ini sama seperti kemarin. Kuta masih tak mendengar apa-apa. Bocah berambut pirang ini selalu membatin, bagaimana gemerlap dunia luar sampai membujuk sang ibu membuka pintu hanya dengan penutup dada.

"Ibu pulang dengan rambut basah."

Kuta membuka satu matanya. Ia menutupinya dengan sarung bantal biru tua. Cahaya remang-remang yang biasa mengedutkan kedua bola mata kini telah diredupkan. Malam ini, sang ibu terlalu bergegas menginjak lantai kayu rumah. Bagai mematikan tungku yang masih menyala, ibu Kuta amat terburu-buru.

Sepi. Hari ini sedikit berbeda seperti kemarin, tapi sama. Ibu Kuta masih memeluk tabut yang ia taruh tinggi-tinggi. Wanita berkulit bening ini tak mau lekas membaringkan tubuh basahnya ke samping sang putra.

"Ibu pulang tanpa busana."

Kuta membuka kedua bola mata birunya. Dia membelakangi cahaya melintang yang biasa membangunkannya. Menghadap tembok kayu keropos, Kuta mulai dihinggapi kesedihan, sekaligus kengerian.

Sepi. Hari ini berbeda seperti kemarin. Sangat berbeda. Ibu lekas membuka lemari, lalu mengambil sehelai handuk putih. Ia bergegas mengusapkannya ke tubuh yang mulus. Sama seperti kemarin, ibu Kuta pulang basah kuyup.

Aku sedih. Mengapa Ibu selalu membuat mataku menitikkan air mata? Aku selalu menantinya. Aku menunggu pelukannya. Aku ingin menjadi lelaki yang ia rangkul setiap malam.

Ibu, aku menyayangimu.

***

Sendirian.

Hari ini sama seperti kemarin. Deburan ombak adalah satu-satunya suara yang Kuta dengar. Rangkaian karang putih berlumut selalu menjadi pemandangan yang bocah bermata biru itu lihat. Mengapa dunia tak pernah berbicara?

Kuta tak tahu ke mana sang bapak pergi. Mungkin, bocah berambut ikal itu tak tahu ia tercipta dari kencing lelaki yang mana. Mengapa dunia selalu diam?

Bra, rambut basah, dan tubuh tak berbusana. Kuta lelah selalu disambut dengan ketiga hal itu setiap kali ia terbangun disebabkan cahaya melintang yang menggelitik bola mata. Mengapa dunia meninggalkan aku dan Ibu hanya berdua?

Ibu Kuta tak pernah mengizinkankan sang putra untuk keluar rumah. Kuta tak punya teman dan tak punya cita-cita. Dunia benar-benar meninggalkan Kuta dan sang Ibu tinggal berdua. Lantas Ibu Kuta keluar untuk siapa?

Bra itu untuk siapa?

Geraian rambut basah terburai disiram siapa?

Tubuh tak berbusana untuk siapa?

"Untukmu, Kuta." Ibu Kuta mengelus pipi sang putra dengan manja.

Kuta menitikkan air mata. Kesedihan—sekaligus haru—menyeruak dari netra birunya. Merasa kurang ajar dan durhaka, dia tak sanggup memeluk sang ibu yang kini menangis di pundaknya.

Mengapa baru sekarang? Bagaimana aku tak bisa menyangkakan kebaikan? Aku menyedihkan.

Ibu, aku menyayangimu.

***

Ayah Kuta pergi meninggalkan seorang wanita bunting di bibir pantai. Dengan perut kesakitan, ibu Kuta hanya mengharapkan kematian. Ditinggal pergi berlayar, dunia sudah meninggalkannya dalam siksaan.

Sendirian. Hari ini sama seperti kemarin. Serupa penuh tangisan. Serupa tak meninggalkan teman.

"Tabut itu untuk Kuta," pesan ibu Kuta dengan air mata membasahi pipi. Wanita cantik itu berkorban untuk sang putra. Dia adalah satu-satunya lelaki yang ia cintai, tak ada yang lain.

Sang ibu tak pernah mengkhianati Kuta. Semua miliknya ia persembahkan untuk Kuta.

"Kuta, siapa yang engkau sayangi?" tanya sang ibu dengan air mata mulai mengering.

"Ibu," jawab Kuta sesenggukan.

"Kuta, siapa yang engkau tunggu setiap engkau membuka matamu seintip-seintip?" tanya sang ibu sekali lagi. Kali ini, senyum kecil menghiasi bibir.

"Ibu," jawab Kuta tersenyum.

"Kuta, siapa yang setiap hari membawakanmu ikan-ikan untuk kita santap setiap matahari di ujung langit?" tanya sang ibu memelan.

"Ibu," jawab Kuta yakin.

"Bapak ...."

"Ibu!" sahut Kuta menangis sekaligus tersenyum. "Aku menyayangi Ibu."

Keduanya menangis, keduanya tersenyum. Berpelukan erat, keduanya tak kehilangan.

Menyisakan sepasang ibu-anak yang saling menyayangi, bumi sudah tak bertuan. Para pria, para manusia, sudah menghukum diri mereka sendiri.

Ibu, aku menyayangimu.

Kuta menangis dalam pelukan, berenang bersama.

Keduanya mengibaskan ekor yang ada di tungkai demi bertahan dari kegelapan dunia.

[]

Cerpen ini ditulis untuk memeriahkan event nyepi yang diadakan oleh Written in Action pada 17 Mei 2022.

Resensi, Relaksasi, Rekreasi, dan Re- Re- Re- LainnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang