CERPEN #6: For Delta, 1000 Years Ago

5 2 0
                                    

AYAH akhirnya menghilang seperti dugaan semua orang.

Kala itu, terik matahari menghilang dari langit musim panas di awal Bulan Juni. Udara seketika lembab dengan warna abu-abu turun perlahan dari langit yang ditutupi mendung pekat. Pohon-pohon menggugurkan daun yang jatuh kuning kecoklatan, berserakan menciptakan gundukan sampah yang seharusnya mesti digaruk di musim gugur. Di atas rumput yang ikut mengering berubah kuning, sebuah mobil sedan berhenti jauh di ambang jalan, hendak menjemput seorang lelaki yang tinggal di rumah petak tengah padang rumput.

Mengintip ke luar jendela ruangan yang dipenuhi aroma sabun pinus dan noda saus kacang, Valdo melirik jauh ke sedan hitam di seberang jalan, menunggunya di luar halaman rumah. Valdo harap, mobil itu bukan milik pria-pria yang membawa pergi sang ayah. Bahkan, bagaimana mereka tahu?

Tempat tinggal Valdo tampak seperti kandang kuda. Di luar hanya terpatri kayu berdebu dan dibubuhi sarang laba-laba. Namun, semua orang akan tertegun ketika menyaksikan interior futuristik di dalamnya. Di setiap sisi dalam, mengilap putih seperti tinggal di laboratorium. Kursi kayu yang berada di ruang tamu secara ajaib bisa seputih susu, termasuk meja kaca di tengahnya. Ubin, dinding, langit-langit, dan lampu kaca juga berwarna putih dengan bau antiseptik pinus pekat menguar.

Valdo menutup kembali gorden tebal yang berwarna putih susu. Ia berjalan panik untuk mencapai ruang tengah di balik ruang tamu. Sepuluh langkah ia derapkan hingga mencapai kain pel dan ember putih yang basah mengelap lantai. Di antara genangan air sabun yang masih memunculkan buih, noda coklat kacang dengan butiran keras seperti kerikil menarik perhatian Valdo. Hingga ia buru-buru berlutut dan mengambil kain pel, lalu menggosoknya hingga lenyap.

Suara derap sepatu pantofel yang menginjak dedaunan rapuh di halaman tiba-tiba menyeruak dari luar. Mengiringi deru angin yang semakin kencang bersama mendung yang kian bergulung-gulung. Ruang tengah yang tidak disinari lampu kaca berubah menggelap dalam sekejap. Namun secara ajaib, Valdo sanggup berjingkat membelah lantai basah, mengembalikan ember dan kain pel putih ke dalam kamar mandi. Hingga tak ada lagi bau saus kacang dan tak ada warna yang membubuhi ruangan selain putih susu.

Suara ketukan pintu memalingkan perhatian Valdo. Tiga kali gedoran itu berbunyi, lalu tersirat wanita bersenandung:

"Mereka berpikir memimpin muka bumi, merekalah perusaknya.

"Oh, kasihku, pergilah dari sini. Tetaplah hidup, lalu kita bertemu lagi.

"Di sana ...."

Valdo mengenal suara itu. Ia pun berlari dari kamar mandi ke pintu depan. Hanya perlu lima belas derapan untuk melintasi rumah yang diliputi putih susu itu. Tanpa perlu ragu, Valdo pun menyentak pintu reyot di depan muka.

Seorang wanita berumur di pertengahan tiga puluh tahun dan berjas putih menyambutnya. Ketika mendapati Valdo membuka pintu, ia langsung tersenyum lebar, menampakkan gigi seri yang putih licin apalagi dipagari oleh bibir bergincu merah darah. Kacamata bulat sebesar bola mata terangkat sedikit oleh senyum yang begitu tulus. Ia wanita yang ceria, bahkan ikatan rambut dikuncir dua memberikan kesan remaja, kontras dengan umurnya kini.

"Va-Valdo!" Wanita itu antusias, tetapi sontak berubah serius dalam sekejap. "A-ayo naik ke mobil. SEKARANG!"

Dia Mrs. Aldebaran, profesor rekayasa genetik di kampus sekaligus tetangga Valdo yang rumahnya hanya berjarak satu blok. Dia memiliki gagap di awal ucapan ketika berbicara. Saking pintarnya ia, sampai perkataan sulit keluar dari otaknya yang penuh. Dia suka bersenandung tentang lagu-lagu filosofis, terutama yang bersangkutan mengenai skenario distopia yang orang-orang banyak tidak percayai. Karena itu, jika Mrs. Aldebaran mengubah raut yang selalu bahagia ke muka serius, kejadian yang mengerikan setara dengan akhir zaman akan terjadi.

Resensi, Relaksasi, Rekreasi, dan Re- Re- Re- LainnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang