13. Kebenaran

134 19 0
                                    

Cinta melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Jam sembilan lebih dua puluh dua menit. Lalu ia beralih mendongak menatap angka yang tertera di dalam lift. Kurang dua lantai lagi ia sampai di lantai tujuh. Telapak tangannya semakin terasa dingin. Tanpa sadar jari-jarinya sibuk memilin ujung bawah kaos yang dipakainya.

Cinta sedang gugup dan takut. Gugup karena malam ini ia harus bertemu Jiwa kembali untuk menagih alasan lelaki itu meninggalkannya, sekaligus takut jika alasan yang diberikan lelaki itu mengecewakannya. Cinta belum siap jika harus benar-benar putus hubungan dengan Jiwa untuk yang kedua kalinya.

Derap langkah kakinya semakin pelan ketika ia hampir sampai di pintu apartemen Jiwa. Bahkan saat ia sudah berdiri di depan pintu itu, Cinta malah mematung. Ragu.

Lama Cinta berperang melawan rasa takutnya sendiri. Lalu secara tiba-tiba, perkataan Elang tadi di rumah sakit seperti menggaung lagi di telinganya.

"Harus sekarang. Harus." gumam Cinta pada dirinya sendiri.

Setelahnya tangan kanannya terangkat memencet bel, ㅡmeskipun ia mengetahui password apartemen Jiwa, tetapi tidaklah sopan jika ia lancang masuk tanpa ijin. Toh saat ini Cinta masih berstatus sebagai teman, ㅡlebih tepatnya lagi, mantan pacar.

Tak lama kemudian pintu apartemen terbuka, menampakkan Jiwa dengan raut wajah kebingungan. Wajar, mungkin Jiwa tidak bakal menduga bahwa Cinta akan kembali secepat ini. Ditambah saat ini juga sudah terhitung malam.

"Ta? Kenapa? Udah malem gini. Ada yang ketinggalan?"

Cinta refleks menggeleng. "Boleh aku masuk?"

Tentu saja Jiwa mengangguk cepat, dan juga senyuman mengembang di wajahnya. Pintu juga sudah dibukanya dengan lebar.

"Elang gimana kondisinya, Ta?"

"Sedikit luka di tangan dan kaki aja. Besok pagi udah diijinin pulang kok."

Cinta kini sudah duduk di sofa, lalu tangannya menepuk sisi sebelahnya untuk menyuruh Jiwa duduk di samping kirinya. Bak anak anjing yang selalu patuh, Jiwa langsung duduk di sebelahnya.

"Kenapa?"

Awalnya Cinta sempat terdiam beberapa saat. Jujur saja, lidahnya terasa kelu. Akan tetapi, setiap bayangan Elang terlintas, ada sesuatu yang tiba-tiba mendorong dirinya untuk menghadapi kebenaran yang sudah di depan mata.

"Aku mau tagih penjelasan kamu. Sekarang." ujar Cinta tanpa basa-basi. Membuat Jiwa sedikit terkejut sampai gelagapan.

"O-oke."

Cinta merasakan tangannya semakin dingin. Sungguh, ia sangat takut. Bahkan ia sendiri pun tak berani untuk menatap kedua mata Jiwa. Cinta menunduk, memandangi lantai seolah lantai itu lah yang nanti akan menjawab segala pertanyaannya.

"Tapi, Ji. Tolong. Tolong banget jelasin ke aku secara detil. Biar aku paham alasannya. Biar aku bisa maafin kamu. Kalau aku nggak ngerti, tolong bikin aku ngerti. Aku takut. Aku takut setelah ngedengernya, aku nggak bisa sama kamu lagi."

Kali ini suara Cinta terdengar bergetar. Hingga Jiwa akhirnya mengambil tangan Cinta untuk digenggamnya. Jiwa paham, tak mudah bagi mereka untuk mengorek luka lama yang masih belum sepenuhnya menutup itu.

"Oke, aku akan jelasin semuanya. Kalau kamu nggak ngerti, kamu boleh tanya. Aku akan jelasin semuanya tanpa ada lagi yang aku tutupin ke kamu. Semuanya bakalan aku ceritain. Dan setelah ini, misal kamu mau benci aku,ㅡ"

"Mana bisa aku benci kamu. Tapi,ㅡ"

"Aku paham, Ta. Aku akan berjuang lagi buat dapet kesempatan kedua dari kamu meskipun kamu bakalan benci dengan alesan aku. Karena aku akan jujur dari awal, bahwa alasan aku dulu ninggalin kamu itu adalah alasan terbodoh dan teregois yang pernah aku buat. Dan aku sangat menyesal."

Cinta & JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang