11. Menunggu Kesempatan

112 23 0
                                    

Seharusnya, sekarang Jiwa sudah duduk di kursi penonton bersama Cinta. Harusnya, setelah menonton, mereka makan siang bersama di restoran yang sudah Jiwa rencanakan. Dan harusnya, setelah itu barulah Jiwa ingin meminta maaf kepada Cinta atas semua kesalahan yang membuat mereka berpisah. Rangkaian kata permintaan maaf sudah ia tulis bak pidato yang seharian telah ia hafalkan. Latihan pun sudah ia lakukan di depan cermin berkali-kali.

Rencana itu sudah diatur matang dan tercatat dari seminggu yang lalu di kepala Jiwa. Tapi apa boleh buat, akhirnya rencana ini gagal total. Yang parahnya lagi disebabkan oleh Jiwa sendiri.

Beberapa hari yang lalu Jiwa sudah antusias bahwa hari minggu ini akan berjalan seperti rencananya. Ia sampai lembur menyelesaikan pekerjaannya agar bisa selesai sebelum hari minggu. Lalu di situlah akar mula penyebab rencana ini gagal. Malam minggu ia mulai merasa tidak enak badan. Awalnya tenggorokannya kering, lalu beberapa jam setelahnya kepalanya pusing. Parahnya lagi sebelum ia tidur, ia menggigil, ㅡtanda bahwa tubuhnya sakit. Akhirnya ia meminum obat demam satu-satunya yang masih tersisa. Lalu setelahnya ia terlelap tidur dengan harapan semoga besok sembuh, semoga besok demam turun, dan semoga besok ia bisa menjalankan rencananya dengan mulus.

Saat kedua matanya terbuka, yang pertama ia lihat adalah wajah cantik Cinta. Awalnya Jiwa mengira itu hanya mimpi, karena sudah terlalu sering baginya memimpikan wajah Cinta. Namun saat tangannya mulai meraih wajah Cinta, ia akhirnya sadar  bahwa ini adalah kenyataan. Cinta Anindya berada di kamarnya, ㅡnyata bukan halusi atau mimpi.

"Hey, kamu sakit."

Itu adalah kalimat pertama yang Jiwa dengar. 'Jadi sudah aku-kamu lagi, ya?' batin Jiwa menjerit girang, ㅡmeskipun ia sedang lemah karena sakit. Namun di sisi lain, rasa bersalah langsung menghantamnya begitu saja karena ia adalah penyebab utama rencana hari ini gagal total. 

Cinta mulai mengomel dengan wajah cemberut, yang menurut Jiwa lucu dan menggemaskan. Ini dia, ini yang Jiwa rindukan. Jiwa tidak peduli jika ini akan berlangsung sehari penuh, ia akan mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Cinta. Meskipun kepalanya terasa berat, nafasnya panas, sendi-sendi sekujur tubuhnya terasa nyeri, tapi ujung bibirnya terus naik terangkat ke atas saat melihat pemandangan cantik pagi ini. Cinta sangat cantik meskipun sedang dalam mode galak.

"Ih, kamu dengerin aku nggak sih?!" pekik Cinta ketika melihat Jiwa yang kini sedang tersenyum mengamatinya. 

"Denger kok."

"Apa coba? Tadi aku ngomong apa?"

"Aku harus isi kotak P3K. Obat demam, obat flu, obat batuk pokoknya segala macam obat." jawab Jiwa, masih dengan senyumnya yang tidak luntur.

"Terus? Masih kurang itu!"

"Hmm, ohh Bye Bye Fever?"

"Bener. Terus?"

Jiwa menggaruk kepalanya, tanda ia lupa. Tampilannya sudah terlihat seperti manusia bodoh.

"TERMOMETER!" Cinta mendecak sebal. "Ih, kamu makanya dengerin. Termometer penting buat cek suhu kalau kamu demam. Ini kamu di apartemen sendirian, jadi harus waspada!"

"Oke. Besok beli bareng kamu aja biar aku nggak lupa, ya?"

Cinta hanya menjawab dengan helaan napas panjang. Tapi Jiwa tahu jawabannya adalah, "Oke, tapi aku males jawabnya karena lagi sebel sama kamu.", kira-kira seperti itu.

Senyum Jiwa kali ini bertambah lebar hingga deretan giginya terlihat dan lesung pipinya muncul. Lesung pipi itu yang akhirnya membuat Cinta melemah, wajahnya kini sedikit melunak. Lalu kemudian berbalik menuju pintu untuk keluar kamar.

Dengan sedikit tenaga yang ia miliki, Jiwa ingin berdiri mengejarnya. Tapi sebelum Jiwa berhasil turun dari kasur, Cinta sudah berbalik lagi di ambang pintu sambil berkacak pinggang.

Cinta & JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang