Percayalah, saat ini Cinta dalam posisi terlemahnya. Di hadapannya, kini berdiri sosok seseorang yang pernah mengisi hatinya. Ah salah, bukan 'pernah' tapi 'masih'.
Meskipun lima tahun telah berlalu bagi Cinta hatinya masih sama, terisi penuh dengan Jiwa. Bahkan posisinya tak tergeser sedikitpun. Pintu itu, masih tertutup rapat tak membiarkan orang lain masuk. Meskipun hatinya pernah mendapat sayatan luka yang begitu perih, tapi bisa terobati kembali oleh rasa rindu yang teramat dalam. Hingga saat ini, mungkin jika Jiwa memintanya untuk kembali padanya, tentu saja jawaban Cinta adalah "Tentu aja gue mau."
Sebuah senggolan pada lengan Cinta membuat kesadarannya kembali. Iya, Cinta sempat terhipnotis selama beberapa detik. Terima kasih kepada Rossa, selalu menyadarkannya Cinta tepat waktu.
Wajah Rossa tiba-tiba muncul dihadapan Cinta dengan tatapan tajam, seperti memperingatkan "Heh sadar! Jaga ekspresi bodoh lo, Ta!".
Cinta mengerjap sebelum kemudian menghela napas panjang. Ia mencoba mengatur ritme jantungnya yang kembali tak karuan setelah sekian lama tak merasakannya. Jiwa kini sudah mengobrol dengan teman-teman yang lain. Biasalah ala-ala pertanyaan reuni, "Apa kabar?", "Sekarang dimana?'", "Makin ganteng aja, resepnya apa?"
"Masakan kali ah?? Ganteng kok tanya resep? Aneh banget pertanyaan Dika." batin Cinta yang diam-diam menguping.
Dari tindakan mengupingnya, Cinta berhasil mendapatkan beberapa informasi. Bahwa Jiwa dalam keadaan baik, sekarang sudah pulang ke Jakarta sejak tiga bulan yang lalu dan sudah menjadi seniman berbakat. Wow keren, Cinta bertepuk tangan meriah, ㅡtentu saja dalam batin, mana berani secara langsung? Lebih kerennya lagi, bahkan katanya Jiwa akan mengadakan pameran gambarnya beberapa bulan lagi. Tentu saja Cinta tidak heran dengan kabar itu, ia tahu betul bakat menggambar yang dimiliki Jiwa. Lelaki itu pantas mendapat kesuksesan.
"Terus sekarang udah ada pacar belum, Ji?"
Sial mulut si Elsa memang kadang tidak ada aturan. Cinta langsung panik mendengarnya. Sepersekian detik ia masih sempat memanjatkan doa sebelum Jiwa menjawabnya. "Ya Tuhan tolong, jawab nggak punya. Tolong banget ini, tolong."
"Belum." jawab Jiwa yang membuat Elsa langsung melirik Cinta dengan senyuman jail.
Lega. Cinta bernapas lega sekali. Sambil menahan senyum ia pura-pura menggaruk ujung hidungnya. Semoga saja tidak ada yang melihat ekspresi bahagianya ini.
Aduh, tapi Cinta lupa kalau ada Rossa yang sedari tadi terus memantaunya. "Payah banget lo." bisik Rossa membuat Cinta menatapnya dengan ekspresi, "Bodo amat."
Sebelum Cinta mampu membuka obrolan dengan Jiwa, acara ternyata sudah dimulai dengan hadirnya salah seorang pembawa acara kondang di atas panggung. Terpaksa obrolan basa basi itu harus terhenti begitu saja. Sangat disayangkan, padahal Cinta sudah memantapkan niat untuk sekadar menyapa Jiwa atau mungkin bisa mengobrol lebih banyak.
Cinta duduk bergerombol bersama dengan teman-teman perempuannya, sedangkan Jiwa juga duduk di antara teman lelaki. Sesekali Cinta melirik ke arah Jiwa yang kini sedang mengobrol dengan Jarrel dan Miko. Teriakan nyaring pembawa acara yang sedang memeriahkan suasana bahkan tidak bisa mengalihkan pandangan Cinta dari Jiwa. Rasanya ada magnet tersendiri yang membuat Cinta terus saja tertarik melirik mantan pacarnya itu.
"Udahan kali ngelihatinnya." Suara Jihan akhirnya sukses mengalihkan atensi Cinta.
"Tau tuh! Jual mahal kek lo! Inget lo itu dulu diputusin sepihak." lanjut Rossa santai sambil memainkan ponselnya, "Inget juga lo dulu nangis-nangis sampe sakit tipes. Gue gak rela ya kalau lo begitu lagi."
Cinta memutar bola matanya malas, berisik sekali Rossa. Dari seminggu lalu ceramahnya selalu sama, menyuruhnya untuk mengingat-ingat lagi dan lagi. Tentu saja Cinta ingat dengan moment terburuk dalam hidupnya itu. Tapi saat melihat Jiwa ada di depannya saat ini membuat ingatannya sedikit buyar, ㅡah sejujurnya banyak buyarnya. Karena Jiwa adalah kelemahan Cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta & Jiwa
FanfictionCinta dan Jiwa, masih berdiri di tempat yang sama. Mereka berdua terjebak dalam kerinduan yang tak terobati. Terbenam dalam kenangan manis yang pernah mereka lalui. Namun, apakah luka yang pernah menggores hati akan kalah dengan rasa cinta yang ma...