12. Dia, Yang Selalu Ada

119 20 0
                                    

Cinta berlari dengan tergesa-gesa ketika sudah sampai di depan sebuah rumah sakit. Pikirannya sudah kalut semenjak ia berada di dalam taxi. Rossa tiba-tiba tidak bisa dihubungi lagi. Jadi bagaimana ia bisa memantau kondisi Elang? Padahal tadi ia belum sempat bertanya banyak tentang bagaimana kondisi Elang saat ini.

Kedua kaki Cinta berhenti di meja informasi. Ia buru-buru menanyakan di mana ruangan atas nama pasien Elang Bagaskara.

"Di ruangan VIP Edelweiss. Silakan Mbak naik ke lantai tiga, ikuti lorong sebelah kiri, lalu belon ke kanan, setelah itu,ㅡ"

"Oke, makasih, Mbak."

Belum selesai petugas informasi menyelesaikan penjelasannya, Cinta sudah berlari lagi mengejar lift yang hampir tertutup. Sampai di lantai tiga, ia mengikuti petunjuk yang tadi ia ingat. Belok kiri ikuti lorong, lalu belok kanan, lalu.. ia lupa. Kepalanya menoleh ke kanan, dan ke kiri, mencari papan petunjuk sambil bergumam.

"VIP Edelweiss, VIP Edelweiss."

Oke, Cinta mendapat sebuah petunjuk pada papan. Tepat di ujung sana ruangan Edelweiss berada. Tak perlu menunggu lama, ia segera berjalan cepat menuju ruangan itu.

"Hey, Ta." Rossa tiba-tiba muncul dari balik pintu sebuah kamar ketika Cinta sedang menanyakan kamar atas nama Elang pada seorang perawat di sana.

"Sa! Gimana kondisi Elang? Kok bisa kecelakaan? Dia nggak pa-pa 'kan? Nggak parah 'kan?"

Rossa mengerjap, "Hey hey, tenang. Tarik napas dulu yang panjang, terus embusin pelan. Satu-satu nanyanya ya."

"Ah, cepet jawab!" protes Cinta.

"Dia nggak pa-pa. Cuma lecet di tangan dan kaki. Besok pagi udah boleh pulang."

"Beneran 'kan?"

Rossa mengangguk cepat, "Iya gue serius. Sehabis kecelakaan dia juga bisa kok hubungin gue. Masih sadar, nggak pingsan. Jadi lo tenang ya."

Oke, Cinta bisa menghela napas lega sekarang. Tapi ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal setelah mengecek ponselnya tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari Elang. Jadi, Elang bahkan tidak mengabarinya sama sekali. Kenapa? Padahal dari dulu sahabatnya itu selalu menjadikan Cinta sebagai orang pertama yang ia tuju.

"Kenapa dia pake motor? Maksud gue tumben banget. Biasanya juga pake mobil."

"Katanya lagi buru-buru. Pake motor biar cepet."

"Bokap Nyokap Elang gimana, Sa? Udah tau?"

Rossa mengangguk lagi, "Udah. Tadi papinya nengok lima menit doang. Terus pergi lagi. Katanya sibuk, ada jadwal operasi. Kalau mamanya lagi di Singapur."

Cinta menunduk lesu. Merasa kasihan dengan Elang yang mempunyai orang tua super sibuk dan selalu mengabaikannya. Hm, ya, mirip dengan hidup Cinta. Namun setidaknya Mama Cinta sekarang sudah berhenti bekerja dan hanya di rumah sibuk merawat tanaman hias.

"Ta?"

"Hm?"

"Nggak mau masuk lihat Elang?"

Cinta termangu sesaat sebelum mengangguk, lalu menyeret kedua kakinya untuk masuk ke dalam ruang inap Elang. Sementara Rossa ijin pergi pulang, katanya kerjaannya belum selesai.

"Hai." sapa Cinta begitu sudah masuk ke dalam kamar VIP yang hampir mirip hotel itu.

Elang terlihat sedikit kaget dengan kedatangan Cinta. Lalu hanya memberikan senyuman tipis, ㅡseperti terpaksa. Lelaki itu memakai baju seragam rumah sakit, tetapi masih terlihat tampan. Dahinya tertempel perban, yang mana menutupi luka akibat kecelakaan. Lalu bisa Cinta lihat pergelangan tangannya juga terbungkus oleh perban.

Cinta & JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang