15. Kita, Selamanya.

154 14 1
                                    

Waktu terus bergulir, hari demi hari terlewati, suka dan duka menjelma menjadi kenangan yang akan selamanya terpatri dalam benak.

Satu tahun berselang.

Jiwa menggandeng tangan Cinta, mengaitkan jari jemari mereka menjadi satu. Kemudian ia mengecup punggung tangan Cinta lembut seraya tersenyum di depan makam sang ayah. Jiwa ingin memamerkan kepada ayahnya, bahwa di jari manis mereka sudah terpasang sepasang cincin pertunangan. Segera setelah semalam acara pertunangan mereka digelar, ia langsung mengajak Cinta untuk mengunjungi tempat peristirahatan ayahnya.

"Yah, aku mau pamer." ucapnya sambil melihat jari manisnya dan Cinta bergantian. "Kita udah tunangan semalem, Yah. Bagus 'kan cincinnya? Simple sesuai selera aku dan Cinta."

Cinta di sampingnya tersenyum, sekilas memandang wajah calon suaminya itu. Kemudian kembali lagi melihat lurus ke arah batu nisan di atas makam mendiang ayah Jiwa. "Cinta sekarang udah boleh panggil dengan sebutan 'ayah' 'kan? Bukan 'om' lagi."

Jiwa melirik Cinta, menundukkan kepala lalu mengecup keningnya. "Boleh lah, 'kan calon mantu."

Keduanya terkikik geli. Rasanya masih terasa seperti mimpi. Akhirnya setelah bertahun-tahun berpisah, mereka dapat bersama lagi dengan cincin pertunangan yang telah melingkar manis di jari mereka.

"Yah, doain kami ya. Dua bulan lagi pernikahan aku dan Cinta akan digelar. Kalau ayah masih di sini, pasti Ayah akan kasih banyak wejangan ke aku tentang menjadi suami yang baik 'kan, Yah?" Jiwa tersenyum lagi, hanya membayangkan kehadiran ayahnya saja sudah membuat hatinya menghangat. "Tapi tenang aja, Yah. Jiwa udah belajar banyak dari Ayah selama ini. Ayah selalu menjadi panutan aku dalam banyak hal. Tak terkecuali adalah sebagai kepala rumah tangga."

Ada jeda setelahnya, Jiwa mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya.

"Mungkin aku nggak akan pernah bisa menjadi sosok sesempurna Ayah, tapi aku akan berusaha buat jadi suami dan ayah yang baik buat anak aku kelak. Aku pengen juga menjadi suami yang sekeren Ayah."

Jiwa menjedanya lagi ketika sadar Cinta sedang bersusah payah menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata. Dirangkulnya tubuh Cinta, lalu ia mengecup puncak kepala calon istrinya itu berulang kali.

"Kamu nggak ada yang mau disampein ke Ayah?" tanya Jiwa.

Cinta menggeleng seraya mengusap kedua matanya. "Kamu dulu aja. Aku nanti belakangan."

"Aku udah kok. Kamu gih sekarang mau ngomong apa sama Ayah." Jiwa mengusap puncak kepala Cinta, berharap bisa menenangkannya.

Butuh beberapa saat untuk Cinta menenangkan dirinya. Jiwa dengan sabar mencoba membantu dengan memeluknya dari samping. Ketika sudah lebih tenang, akhirnya Cinta membuka suaranya.

"Yah, aku nggak akan henti-hentinya mau ngucapin terima kasih ke Ayah. Semua perkataan Ayah dulu, sekarang benar-benar akan jadi nyata. Terima kasih juga untuk lukisannya yang Ayah berikan buat aku dan Jiwa. Setelah kemarin terpajang di pameran lukisan karya Ayah, sekarang lukisan itu udah terpajang di dinding rumah kita."

Cinta tersenyum tipis setelahnya. Lalu mendongak menatap wajah Jiwa yang sedang menatapnya dengan lembut. "Terima kasih juga, Yah, karena sudah menjadi Ayah yang baik buat Jiwa." lanjutnya lagi seraya mengusap pipi Jiwa.

Tak ada tangis lagi setelahnya, Jiwa dan Cinta meninggalkan tempat peristirahatan terakhir ayahnya dengan senyuman mengembang di wajah mereka berdua.

Mereka tahu bahwa di atas sana, Agung pasti sedang ikut tersenyum bahagia melihat mereka yang sedang berjalan melangkah menjemput kebahagiaan yang sudah di depan mata.

Cinta & JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang