Ian x Dery

297 23 0
                                    

Tidak banyak yang kuingat. Hanya beberapa kali sentuhan ringan. Seperti tidak sengaja menggenggam tangan hingga berakhir disini. Saling menghisap bibir satu sama lain. Menjadi candu.

Entah apa yang dilakukan Hendery bagiku dia segala indah yang kudamba. Segala harap dan semoga yang nyata. Begitu indah dan menawan. Semanis madu dan memabukkan bagai opium.

"Ian, ayo lakukan bersama. Aku mohon."

Sial. Sial. Sial. Bagaimana rupa itu penuh dengan harap. Tatapannya sesayu itu. Sapuan tangannya pada tengkukku semua terasa sangat indah dan mengundang.

"Tentu."

Aku tidak perlu diperintah dua kali. Lagipula ini pilihanku. Hendery, nama yang akan terus disebutnya adalah Ian bukan nama lain. Dan sepertinya ini akan jadi malam panjang. Karena malam ini bukan soal ranjang semata, ini tentang rasa dan damba.

Kucium lagi bibir manis itu, warnanya makin merah. Erangan Hendery juga semakin tertahan. Rautnya putus asa, tatapan memohonnya amat sangat sensual. Kali ini akan kubuat malam yang istimewa, tentang aku yang menumpahkan segala rasa untuk Hendery di atas kasur hotel murahan ini.

"Ian, cium aku lagi."

Cium. Cium. Dan cium. Bersabarlah Hendery, karena kamu tidak hanya mendapatkan ciuman tapi seluruhnya. Raga dan jiwaku.

Tanganku meraba punggungnya yang terbungkus kemeja bergaris. Dari luar saja terasa amat ramping. Satu tanganku saja sudah mendekap hampir setengah badannya.

Hendery menarikku sekali lagi untuk mencumbu. Tidak, aku tidak akan diam pada bibirnya saja. Leher putih jenjang itu entah mengapa terasa amat menawan. Hisap dan kecup, tak terasa warna seputih itu berubah sedikit merah dan ungu berhias disana. Jangan lupakan bagaimana jemari Hendery mencengkram rambutku. Sedikit kutengok dan ya, Hendery mendongak dengan wajahnya yang menikmati aksi malam ini. Lebih menggoda dari bintang porno yang pernah kutonton.

Kami terpaku, tidak menyadari bahwa sedari tadi kami bercumbu di lorong hotel. Lekas kutarik Hendery memasuk kamar. Membantingnya dibalik pintu. Mencumbu sedikit berantakan hingga tidak sadar beberapa kancing kemejanya sudah terbuka. Bahkan tampilan kemejanya sudah keluar dari setelan formalnya tadi.

"Bolehkah?"

"Tentu. Lakukan apapun yang kamu impikan, anggap saja aku keluar dari mimpimu."

Bagai sihir, aku dibuat kepayang olehnya. Setelah mendapati kewarasanku, tentu aku tidak membiarkan Hendery terus berdiri. Kugendong menuju kasur empuk itu, meski berdecit tanda kasur lama.

Kami terus berciuman, hingga turun ke puting itu. Menengang, mengeras manja minta disentuh. Pilin dan hisap bergantian. Erangan Hendery semakin menjadi. Bahkan sesekali memohon ampun katanya ia bisa mati lemas.

"Bolehkah?"

Kudapati anggukan dan tangan Hendery sendiri yang mengarahkan jemariku kesana. Ke tempat gundukan diantara pangkal pahanya. Tak ingin mengulur waktu, kancing serta resleting tadi telah tertinggal dari tempatnya.

Kocok dan sesekali kugoda dengan mengelus pucuk milik Hendery, erangannya semakin berantakan. Baru kali ini aku melihatnya menangis. Matanya pink, hidung dan pipinya ikut merona. Cantik sekali.

"Tidak, Ian, aku mohon berhenti. Akhh, Ian lagi, lagi."

Dia memohon berhenti tapi juga minta dilanjutkan.

"Hm? Apa yang lagi? Apakah kamu suka saat aku melakukan ini?"

"Akhh iya, lakukan lagi. Ian aku mohon."

Hendery semakin gelinjangan. Bagaimana kaki cantiknya itu menegang serta cengkraman kuat pada selimut itu. Anak ini cantik sekali. Ingin rasanya aku terus melihat pemandangan seperti ini.

Hendery Uke -!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang