Chapter 4

141 13 0
                                    


Suatu malam tidur Shiho gelisah, ia sudah bolak-balik di ranjang namun kantuk tak kunjung datang. Akhirnya ia menyerah mencoba untuk tidur dan bangkit duduk sembari membelai-belai perutnya yang belum terlalu besar. Kandungannya baru berusia dua bulan.

"Hai hai... Okasan turuti apa maumu..." gumam Shiho penuh sayang pada bayi di dalamnya. Perlahan ia keluar dari kamar untuk menuju dapur.

"Uhm?" Takaaki yang masih terjaga di ruang kerjanya tertegun saat mendengar suara-suara dari dapur. Penasaran, ia pun keluar ruangan untuk memeriksanya dan menemukan Shiho yang sedang menyiapkan bahan-bahan.

"Kau sedang apa Miyano-San?" tanya Takaaki bingung.

"Ah, aku sedang ingin membuat takoyaki," jawab Shiho.

Takaaki mengerjap, "Takoyaki? Malam-malam begini?"

"Eh, entah kenapa mendadak aku terbayang-bayang takoyaki dan begitu menginginkannya sampai tak bisa tidur."

"Ngidam?"

"Sepertinya begitu," sahut Shiho sambil tetap menyiapkan bahan-bahan, "sebagai ilmuwan, awalnya aku tak percaya dengan ngidam. Kukira itu hanya kemanjaan yang tak beralasan dari seorang wanita hamil. Tapi sekarang aku sungguh-sungguh mengalaminya dan tak mampu menjelaskannya dengan logika."

"Oh..."

"Maaf bila suaraku mengganggu, Morofushi-San tidur lagi saja."

"Tidak, aku belum tidur, aku masih bekerja," ujar Takaaki seraya menghampiri Shiho dan mengambil alih pekerjaannya.

"Eh?" Shiho bingung dengan sikapnya.

"Biar aku saja yang membuatnya untukmu."

"Eh tapi..."

Takaaki membimbing Shiho ke sebuah kursi dan mendudukkannya di sana, "aku bisa melakukannya, kau tak perlu khawatir. Duduk dan tunggu saja."

"E-eh..."

Shiho akhirnya duduk menunggu seraya bertopang dagu di meja makan sementara ia mengamati Takaaki bekerja. Dilihat dari gerakannya, Shiho menilai Takaaki sudah biasa beraktivitas di dapur. Saat pria itu memotong octopus, mencampurkan bahan dan memanggangnya di pemanggang bulat, tidak terlihat kecanggungan sama sekali. Kemudian Shiho teringat, Hiromitsu juga pernah cerita kalau dirinya bisa memasak. Awalnya Shiho mengira dia hanya membual. Kehidupan di organisasi tidak mudah, kebebasan begitu mahal, mereka diawasi dengan ketat di asrama organisasi. Mau berduaan saja harus mencuri-curi waktu, jadi sulit bagi Hiromitsu bila ingin memasak untuk Shiho. Hiromitsu bertekad untuk memasakkan hidangan salmon terbaiknya bila suatu hari mereka sudah lepas dari organisasi dan hidup mandiri di suatu rumah atau apartemen. Sayang hal itu tidak sempat terwujud karena ia terlanjur tewas. Sekarang, justru kakaknya Takaaki yang mewujudkan impian tersebut, memasakkan takoyaki untuk Shiho.

"Sudah matang," kata Takaaki saat menghidangkan delapan takoyaki cantik di hadapan Shiho, lengkap dengan mayonnaise dan taburan juhi.

"Wah..." Shiho melongo tampak terpesona. Penampilan takoyaki buatan Takaaki persis seperti di restoran sushi atau yang biasa dijual di street food.

"Kuharap rasanya tidak buruk," ujar Takaaki seraya menyorongkan setumpuk tusuk gigi.

"Sepertinya enak," Shiho mengambil satu tusuk gigi.

"Hati-hati panas," Takaaki mengingatkan.

Shiho mencomot satu, meniupnya sesaat sebelum memakannya.

Takaaki menunggu reaksinya.

"Hmmm..." Shiho memejamkan mata seraya meletakkan dua kepalan tinjunya di pipi, "ini enak sekali!"

"Oh ya?"

"Eh, lebih enak daripada terakhir kali aku makan di restoran sushi," Shiho mencomot satu lagi.

Diam-diam Takaaki tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia melihat wanita ini begitu kegirangan seperti anak kecil. Sorot matanya terlihat natural berbinar-binar hanya karena takoyaki. Ia bertanya-tanya, apakah semua wanita ngidam seperti ini?

"Morofushi-San tidak mencobanya?" tanya Shiho setelah makan bola yang ketiga, sudut bibirnya belepetan mayonnaise.

"Tidak, untuk Miyano-San saja semuanya," ucap Takaaki seraya mengambil selembar tisu, "sumimasen..." katanya sopan sebelum membersihkan bibir Shiho dari mayonnaise dengan tisu.

Wajah Shiho merona dengan gesture Takaaki tersebut, "arigatou..." gumamnya malu. Ia pasti tampak konyol saat ini.

"Pelan-pelan saja, kalau kurang aku akan membuatkannya lagi."

"E-eh..." sahut Shiho kikuk.

Takaaki menunggui hingga Shiho selesai makan. Dalam hati ia penasaran, apakah Hiromitsu pernah memasak atau membuatkan takoyaki untuk Shiho? Sejauh ini Takaaki belum bertanya bagaimana hubungan Shiho dengan Hiromitsu. Bagaimana mereka awalnya bertemu hingga menjalin kasih. Takaaki tidak sampai hati untuk bertanya padanya, karena takut membangkitkan kesedihan Shiho, atau mungkin kesedihannya sendiri.

"Terima kasih atas makanannya," kata Shiho puas.

"Mau lagi?" tawar Takaaki.

"Ah tidak tidak, sudah kenyang, sungguh."

"Besok kira-kira Miyano-San ngidam apalagi?"

Shiho menggeleng, "aku belum tahu, hal itu seringkali mendadak terpikirkan begitu saja. Sebenarnya aku ingin takoyaki sejak dari beberapa hari lalu. Aku sudah berusaha menahannya hingga tidak sanggup lagi."

"Kenapa kau tidak bilang dari beberapa hari sebelumnya?"

"Aku tidak ingin merepotkan semua orang, terlebih lagi Morofushi-San."

"Anak Hiromitsu adalah keponakanku, karena itu kalau kau ingin sesuatu, jangan sungkan untuk memintanya padaku."

"Morofushi-San sudah terlalu baik padaku, lebih dari yang pantas aku terima. Aku tidak ingin menyusahkan lebih jauh."

"Kami keluarga Morofushi lah yang lebih menyusahkan Miyano-San."

"Eh?"

"Kau harus mempertahankan kehidupan di dalam dirimu sementara nyawamu sendiri terancam. Kesusahanmu tidak sebanding denganku."

"Aku tidak menganggapnya menyusahkan," Shiho menurunkan pandangannya seraya menimbang-nimbang, "mungkin setelah sekian lama... aku akhirnya punya alasan kuat untuk tetap bertahan hidup..."

"Miyano-San..."

"Aku tidak tahu... sudah berapa banyak nyawa melayang di tanganku," Shiho mengepalkan tangannya ketika mengatakan hal tersebut, "aku terus dipaksa untuk membuat racun dan melakukan percobaan ilegal. Beberapa waktu lagi lebih lama di sana, mungkin aku sudah bunuh diri..."

Takaaki memahami Shiho masih berusaha menghindari pembicaraan mengenai Hiromitsu.

"Setelah aku tahu ada kehidupan di dalam diriku... Untuk pertama kalinya aku merasa ingin melakukan hal yang benar sekali saja, meski mungkin ini juga menjadi yang terakhir... Aku sungguh tidak menganggapnya sebagai kesusahan..."

"Aku berjanji tidak akan menjadikannya yang terakhir Miyano-San."

"Nani?"

"Kau bisa melakukan banyak hal yang benar di masa depan untuk menebus kesalahanmu di masa lalu. Aku akan memastikannya sendiri."

Shiho terpana, di saat ini, di kala seluruh dunia membencinya, hanya Takaaki yang masih baik terhadapnya. Padahal Takaaki seharusnya menjadi orang yang paling membenci Shiho karena tewasnya Hiromitsu.

"Sudah malam, sebaiknya kau tidur. Aku juga mungkin akan tidur dan melanjutkan pekerjaanku besok."

"Eh."

"Oyasumi," kata Takaaki sebelum bangkit berdiri.

"Oyasumi," balas Shiho.

Sebelum masuk ke kamarnya Shiho memandang foto keluarga Morofushi di ruang tamu. Ia melihat kedua orang tua Takaaki dan Hiromitsu. Shiho tak mengerti, orang tua hebat macam apa yang mampu mendidik putra-putranya dengan budi pekerti yang begitu baik. Shiho sendiri tidak mengenal keluarganya, ia tak tahu seperti apa orang tua kandungnya dan bagaimana mereka awalnya bergabung di organisasi. Shiho merasa malu dan begitu buruk bila keluarganya dibandingkan dengan keluarga Morofushi.

The ProtectorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang