Part 2 | Hukuman

230 84 72
                                    

Lapangan yang begitu luas memancarkan sinar  matahari yang terlihat begitu terik. Suasana yang begitu panas, serta angin yang berhembus tak dapat membantu menyegarkan tubuh manusia di siang hari itu.

Terdapat enam laki-laki dengan seragam yang dikeluarkan, dasi yang sudah tidak bersarang ditempat semestinya, dan lengan yang terdapat slayer berwarna merah menyala—merupakan ciri khas dari anggota Stargaze.

Galen, Kenzo, Farroz, El, Dewa, dan Rendra kini tengah berdiri menatap tiang bendera sembari hormat dengan kaki kanan yang diangkat satu.

Sudah 20 menit mereka di lapangan ini dengan peluh keringat yang membanjiri tubuhnya—terutama wajah tampan mereka. Tadi, setelah jam pelajaran ke-2 selesai, mereka tidak menetap di kelas melainkan pergi menuju belakang sekolah untuk merokok. Akan tetapi, belum sempat menyalakan rokok mereka sudah lebih dulu ketauan oleh Pak Samsul, selaku guru PPKN-nya.

Sebagai guru yang menjunjung tinggi pancasila dan UUD 1945, pak Samsul pun segera memberikan hukuman dan meminta mereka untuk bertanggung jawab atas masalah yang telah mereka perbuat. Maka dari itu, di sinilah mereka. Dengan seragam yang sudah basah akibat keringat, dengan tangan dan kaki yang terasa pegal akibat berdiri terlalu lama, dan dengan pusing yang menjalar di seluruh kepalanya akibat cuaca yang begitu panas.

"Ini kapan selesainya, sih?" Tanya El dengan tangan yang mengelap wajah yang dipenuhi oleh keringat.

Dewa melirik arloji berwarna hitam di tangan kirinya. "Masih satu jam lagi," jawabnya memberi tahu.

"Gila! Rasanya gue mau pingsan kalau kayak gini," keluh Kenzo. Wajah laki-laki itu memang terlihat pucat, jauh sebelum hukuman yang diterimanya.

Galen memandangi wajah Kenzo, ada rasa tidak tega ketika melihat temannya yang sedang sakit harus ikut terkena hukuman. "Lo duduk aja, Zo. Kasian muka lo udah pucat gitu," katanya. Hal itu sontak menarik perhatian El, Dewa, Farroz, dan Rendra.

Rendra merangkul pundak Kenzo, menepuk pundak itu dengan pelan. "Benar, Zo, mending lo istirahat aja."

Kenzo menggeleng. Ia tetap kekeuh pada pendiriannya untuk tetap ikut berdiri di lapangan bersama ke-lima teman-temannya. Di antara yang lain, Kenzo bisa dibilang salah satu teman yang paling solid. Kenzo selalu ada untuk siapapun yang membutuhkannya. Kenzo selalu mengedepankan orang lain dibandingkan dirinya. Padahal, Kenzo juga butuh seseorang ketika ia butuh, bukan hanya orang lain saja, 'kan?

"Santai aja. Gue kuat, kok."

Galen, El, Dewa, Farroz, dan Rendra hanya mengangguk mendengar jawaban dari Kenzo. Mereka tau, jika Kenzo benar-benar sudah tidak mampu lagi, maka laki-laki itu akan bilang dan meminta pertolongan dengan sendirinya.

"Hal kayak gini yang bakal gue kangenin setelah lulus SMA," kata Farroz tiba-tiba. Entah kenapa, ada rasa sesak di dada mereka mengingat waktu mereka di SMA ini tinggal setahun—setelah ujian akhir sekolah dan kenaikan kelas 12.

"Benar. Bisa nggak ya kita sama-sama lagi? Kuliah di tempat yang sama, jurusan yang sama, atau bahkan kerja ditempat yang sama," ucap Rendra. Tatapannya menerawang ke arah bangunan sekolah bercat putih abu-abu yang pastinya akan ia rindukan nanti, setelah mereka jauh.

"Nggak bisa. Kita semua punya impian masing-masing. Setelah lulus, kita akan fokus mengejar apa yang udah kita impikan sejak lama. Meskipun kita nggak tau akan berakhir baik atau buruk," balas Dewa dengan senyum tipis yang terpatri di wajahnya.

Galen yang sejak tadi diam, kini bersuara, "Kalian ... punya mimpi apa?" Tanyanya dengan nada yang tidak dapat diartikan.

"Gue mau jadi pilot," kata El dengan tersenyum senang.

"Gue mau jadi pengusaha," jawab Farroz.

Kenzo terkekeh kala membayangkan impiannya yang sejak kecil ia impikan, "Gue mau jadi juragan kontrakan 50 pintu," ungkapnya.

"Buset! Banyak amat!"

"Biar di masa depan gue tinggal nikmatin masa tua gue, El," balasnya seraya tersenyum bangga.

"Gue mau jadi polisi," kata Dewa.

"Kalau lo, Gal? Impian lo apa?" Tanya Kenzo seraya menatap lekat mata hitam milik ketuanya.

Galen terdiam sesaat. Sejak kecil, ia tidak pernah berpikir untuk memiliki mimpi ataupun cita-cita seperti yang teman-temannya ucapkan. Bukan karena takut jika itu tidak tercapai. Melainkan, ia hanya ingin fokus ke satu titik, perihal wanita kesayangannya.

Galen tersenyum tipis menatap teman-temannya, "Impian gue sejak kecil cuma satu. Gue cuma mau kasus nyokap gue bisa dibuka lagi dan pelaku dihukum dengan semestinya. Hanya itu."

Kenzo, Rendra, El, Dewa, dan Farroz hanya terdiam. Mereka tidak tau harus mengatakan apa. Mereka hanya bisa merangkul bahu Galen—pertanda bahwa mereka akan selalu ada untuk Galen. Mereka akan selalu ada di garda terdepan untuk membantu Galen dalam memecahkan kasus yang dialami oleh Arunika, ibu dari laki-laki yang bernama Galendra Kenz Ghalibie.

"Tenang aja, Gal, kita pasti bantu lo."

Galen tersenyum tipis.

"Kamu ini anak baru Kalea, tapi udah bikin ulah aja di sekolah!" Hardik seorang wanita paruh baya sembari menjewer telinga siswi-nya seraya berjalan menuju lapangan sekolah. 

Mendengar suara guru yang tengah memarahi seseorang membuat Galen, Kenzo, El, Farroz, Rendra dan Dewa menoleh ke kanan dan mendapati seorang gadis dengan pakaian yang ketat dan seragam yang dilipat di lengan.

"Itu siapa?" Tanya Farroz penasaran.

"Anak baru," sahut Kenzo.

El memfokuskan pandangannya ke arah siswi yang dipanggil Kalea oleh gurunya. "Gila! Kemana aja gue selama ini? Baru tau ada bidadari di sekolah ini," decaknya kagum.

Rendra mengusap kasar wajah El. "Biasa aja mata lo, Njir!"

"Ayo buruan Kalea! Kamu harus berdiri di lapangan," jerit guru yang kerap disapa Bu Ira.

"Iya Bu, Iya!" Kesal siswi dengan rambut se-bahu yang disapa Kalea itu.

Ibu Ira dan Kalea berjalan ke arah lapangan—tepatnya tempat di mana Galen dan teman-temannya di hukum.

"Kalian ngapain lihatin saya? Fokus ke hukuman!" Tukas bu Ira saat melihat tatapan ke-enam siswanya yang bandel iti terus memperhatikan dirinya.

"Sensi amat sih, Bu?" jawab El kesal.

Bu Ira melotot mendengarnya, "Heh! Kamu berani jawab saya?!" tanyanya tak suka.

El meringis kala dirinya ditatap horor oleh guru Bahasa Indonesianya itu.

"Kamu berdiri di sebelah Galen, Kal," titah bu Ira kepada Kalea. Kalea pun hanya menurut, terlalu lelah berdebat dengan gurunya.

"Kalian," tatapan bu Ira beralih kepada Galen, Rendra, Kenzo, El, Dewa, dan Farroz, "tolong jagain Kalea biar nggak kabur," suruhnya.

"Siap, Ibu! Saya rela deh panas-panasan demi jagain bidadari," ucap Rendra dengan wajah yang berbinar.

"Dih, najis!" sahut Kalea.

"Hahaha. Lihat, Ren! Dia bahkan najis sama lo," kata Farroz dengan tertawa pelan.

"Sue, lo."

"Udah-udah. Nggak usah genit kamu, Rendra! Lebih baik kamu fokus ke hukuman kamu aja," kata bu Ira galak. Kemudian, bu Ira pun beranjak pergi meninggalkan mereka.

Selepas kepergian bu Ira, ke-enam laki-laki itu menatap lekat Kalea. Baru kali ini mereka melihat siswi seperti Kalea. Seragamnya yang ketat, bajunya yang dilipat di lengannya, dan wajah judes gadis itu membuat ke-enamnya merasa penasaran.

Kalea yang sadar dirinya sedang ditatap pun menoleh, "Apa lihat-lihat?!" tanyanya galak.

Galen, Rendra, Kenzo, El, Dewa, dan Farroz pun sontak mengalihkan pandangannya dari Kalea. Merasa malu karena terciduk sedang memperhatikan gadis itu.

"Gausah geer," tukas Galen.

"Bodo amat!"

Bersambung...

GALENDRA [TERBIT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang