Part 20

45 13 1
                                    

Kalea tidak yakin pasar malam adalah pilihan paling tepat di antara pilihan-pilihan lain yang terlintas dalam benak Galen untuk ... bagaimana ia harus menyebutnya? Kencan? Oh, apa pun itu, Kalea benar-benar tidak yakin pasar malam adalah pilihan yang tepat karena sama sekali tidak seperti tempat yang mungkin terlintas di benak Galen. Seandainya tempat ini adalah arena permainan arkade yang menantang, stadion sepak bola atau basket, atau mungkin sirkuit tempat diadakannya balapan, Kalea tidak akan sedetik pun merasa heran. Tempat-tempat itu lebih Galendra. Lebih seperti tempat-tempat yang dikunjungi Galen ketika merasa suntuk atau membutuhkan udara baru, alih-alih pasar malam yang ramai sesak, berisik dari segala penjuru, dan sangat tidak Galendra.

Galen selalu punya cara mengendalikan laju motornya yang kencang menembus angin malam setiap kali balapan diadakan malam hari. Selalu punya cara menikung dengan memperlambat pengereman atau menurunkan satu kaki demi mencegah rivalnya menyalip dari bagian dalam. Kepiawaiannya mengendarai motor diakui oleh nyaris semua orang. Oleh teman-teman terdekatnya. Oleh rekan-rekan satu gengnya. Oleh rival-rival yang diasapinya setiap kali balapan. Tapi pasar malam yang tidak pernah Kalea pikirkan akan terlintas dalam benak Galen justru memperlihatkan padanya sosok Galen yang lain. Sosok yang membuat Kalea berpikir ... benarkah lelaki yang bernapas di sisinya ini adalah Galen? Sosok Galendra yang terkubur di dalam persona garang yang ditampilkannya.

Galendra keras di luar, tetapi lembek di dalam.

Kalea berpikir mengunjungi dokter THT besok pagi setelah sesi kencan ini selesai. Telinganya mungkin akan berdenging, lalu sakit sepanjang malam. Galen tidak bisa duduk tenang di atas bangku galeon yang dinaikinya. Pada detik-detik pertama sebelum galeon berbentuk perahu dengan warna-warna heboh itu belum bergerak karena menunggu setiap kursi terisi orang-orang yang antusias dan siap memacu adrenalin, Galen bertingkah ialah pusat dunia. Ialah yang paling pemberani di seluruh penjuru dunia. Ialah yang akan mengalahkan dunia yang keras. Namun, tidak bertahan hingga lima menit sampai galeon mulai bergerak, berayun-ayun dengan kecepatan tidak konstan, Galen mulai berteriak.

Kalea berani bersumpah bahwa tidak ada yang mengerikan dari wahana galeon. Orang-orang antusias yang pemberani mengangkat kedua tangan mereka ke udara, membiarkan angin malam menerbangkan helaian rambut yang dibiarkan terlepas, dan berseru gembira sesekali sembari tersenyum lebar. Tolong catat itu. Berseru gembira sesekali sembari tersenyum lebar. Namun, sialnya, Galen tidak berseru gembira sesekali sembari tersenyum lebar. Lelaki itu berteriak, histeris, kalang kabut, jauh dari kata gembira, memasang muka paling masam, dan tidak terlihat gembira hingga wahana galeon akhirnya berhenti dan Kalea terpaksa memapah lelaki itu karena, demi Tuhan, jalannya miring-miring!

Gelan mengusap air mata dari sudut matanya. Tidak, dia bukannya menangis. Tidak ada isakan yang keluar dari bilah bibirnya. Hanya rintihan dan ucapan syukur yang mampu dikatakannya, sebelum akhirnya ia berlari ke wastafel terdekat dan mulai muntah.

Oke, ini di luar prediksi Kalea.

"Harusnya lo nggak usah berlagak nerima ajakan gue naik galeon kalau ujung-ujungnya lo bakal muntah-muntah begini," kata Kalea sembari mengusap-usap dan sesekali menepuk punggung Galen yang memaksa seluruh isi perutnya keluar.

Gelan menggeleng susah payah. Ia menyeka bibir dan dagunya. Lantas berbalik menatap Kalea yang berdiri di sisinya. "Harusnya lo berterima kasih," balasnya sengit.

"Kenapa jadi harus gue yang berterima kasih?" Kalea mengernyitkan dahi.

"Karena gue, dengan rendah hati, mau ikut lo naik wahana nggak masuk akal itu. Tanpa kerendahan hati gue, lo bakal naik wahana itu dan nggak akan merasa terhibur," jelas Galen penuh percaya diri.

Mulut Kalea terbuka. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia bahkan tidak bereaksi apa-apa ketika Galen menggandengnya meninggalkan wastafel dan masuk lagi ke keramaian. Entah ke mana lelaki itu akan membawanya, tapi satu-satunya yang ingin Kalea lakukan sekarang adalah menyeret Galen ke wahana galeon lagi, mengikatnya di sana, dan menyuruh petugas wahananya menjalankan perahu besar dengan lampu-lampu heboh itu dengan kecepatan luar biasa. Dia ingin melihat apakah kecongkanan Galen masih bisa bertahan atau runtuh seketika.

Kalea baru tersadar dari serangkaian rencana jahatnya ketika Galen mencolek-colek bahunya, membawanya kembali membumi. Ia terperangah sesaat, menatap lelaki itu dengan tanda tanya imajiner besar di atas kepalanya.

"Makanya jangan melamun, Cantik. Nanti kesambet," goda Galen dengan cengiran di wajahnya. Sebelum Kalea menyembur wajah lelaki itu dengan gerutuan lain, Galen lebih dulu menunjuk ke depan. "Mau permen kapas karakter apa? Kucing? Macan? Babi? Kodok?"

Masih dalam keadaan setengah terperangah, Kalea baru-baru ini saja menyadari Galen dan ia berdiri di depan stan penjual permen kapas. Aroma gula yang manis menguar persis di hidungnya, menimbulkan kesan nyaman yang tidak bisa dihindarinya dan membuatnya lupa pada pertanyaan yang tidak dijawabnya.

"Mas, satu permen kapas karakter kodok dan satu permen kapas karakter kucing."

Kalea mendengar suara Galen, tetapi ia masih sibuk menarik napas dalam-dalam, memasukkan lebih banyak aroma gula yang legit, khas, dan hangat yang diubah menjadi kapas-kapas halus dengan warna-warna lembut.

"Permen kapas buat lo." Galen tersenyum secerah sinar matahari, seolah lupa ia baru saja menjerit-jerit seperti guntur pada hujan tengah malam. Tangannya menyodorkan permen kapas berbentuk kodok hijau dengan mata besar yang berpendar bahagia dan jenaka.

Kalea tidak tersinggung dengan karakter kodok yang diberikan padanya. Alih-alih tersinggung, ia justru tersenyum, menerima permen kapasnya dengan senyum merekah, ucapan terima kasih yang teredam lagu keras yang diputar penyelenggara pasar malam, dan malu-malu menggigit bagian telinga si kodok hijau. Gula-gulanya yang membentuk benang-benang halus meleleh di dalam mulutnya.

"Gue bercanda soal lo harus berterima kasih ke gue karena gue mau nemenin lo naik wahana nggak masuk akal itu tadi," kata Galen tiba-tiba. Ia menyesap udara kosong melalyi sela-sela giginya dan mengabaikan permen kapasnya.

Kalea, dengan permen kapas terjepit di antara bilah bibirnya, memiringkan kepala, berkedip tidak mengerti.

Galen menggaruk tengkuknya. Lagi-lagi menyesap udara kosong melalui sela-sela giginya dan bersikap dramatis. "Gue nggak pernah naik wahana nggak masuk akal begitu di pasar malam, jadi gue nggak tahu kalau ternyata gue setakut itu sama permainan yang bikin perut dan otak gue jungkir balik."

"Nggak masalah," Kalea bersenandung ringan. "Tapi kalau besok gue tiba-tiba ada gangguan pendengaran, lo harus jadi orang yang antar gue ke dokter THT dan bayar biaya pengobatan gue sampai pendengaran gue sembuh total."

"Hah?" Galen mengerjap tidak mengerti.

"Teriakan lo, Galen, teriakan lo."

Galen meringis, berusaha menghapus rasa malu dan canggungnya dengan menggigit permen kapas berkarakter kucing secepat mungkin, membuat jalinan benang-benang kapas halusnya yang berwarna jingga menempel di sekitar bibirnya.

Kalea tertawa renyah dan terhibur. Sudut-sudut matanya terangkat, membentuk kerutan-kerutan seiring mengerasnya tawa ketika mendapati jalinan benang-benang kapas jingga membebat bibir Galen. Di benaknya, lelaki itu telah berubah dari batu karang menjadi cokelat praline yang keras di luar dan lembut di dalam, kemudian berubah menjadi permen kapas yang ringan, lembut, dan – ini agak memalukan – manis. Seperti awan yang muncul di malam hari.



Bersambung...

AYOK JANGAN LUPA VOTENYAAA, GALENDRA MENUJU ENDING HUHUUUU



Jakarta, 14 Desember 2024

GALENDRA [TERBIT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang