Part 18

36 11 1
                                    

"Galen?"

Galen menoleh saat ada yang memanggil namanya. Keningnya berkerut menatap seorang pria paruh baya yang rasanya pernah ia lihat. Sedetik kemudian ia menyadari bahwa pria paruh baya di hadapannya ini adalah Ardian, papa Kalea.

"Om." Galen menyapa. Tangannya bergerak untuk menyalimi Ardian.

Ardian menepuk pundak Galen. "Kamu beli apa di sini?"

Saat ini Galen sedang berada di minimarket untuk membeli beberapa camilan. Tapi tak disangka ia bertemu dengan Ardian.

Galen menunjukkan keranjang biru yang ia genggam. "Beli camilan, Om," jawabnya.

"Tumben?"

"Maksudnya, Om?" tanyanya tak mengerti.

Ardi tertawa, "Baru kali ini saya lihat cowok suka ngemil," jelasnya.

Galen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi ia malu. Masa iya Galen bilang kalau sekua camilan yang ia beli untuk Kalea yang notabenenya putri Ardian?

Ardian menatap wajah Galen yang terlihat sedikit memerah, seperti menahan malu.

"Buat pacar kamu?" tanyanya.

Galen mengangguk singkat. "Mungkin?" jawabnya ragu-ragu.

"Kok mungkin?"

"Baru dekat aja, Om," jawabnya malu-malu.

Ardian tertawa, "Dasar anak muda. Segera official dong, Len. Jangan lama-lama."

Mendengarnya membuat Galen ikut tertawa, "Belum ada tanda-tanda dia suka nih, Om."

"Lho? Kenapa gitu?"

Galen mengulum senyumnya mengingat perempuan yang tengah ia dekati sangat sulit untuk ditebak, "Perempuan susah ditebak, Om," katanya seraya terkekeh.

Ardian menepuk-nepuk pundak Galen. "Ya, udah. Om doain semoga kamu bisa segera official sama dia, ya. Om pamit dulu ya, Len. Kamu hati-hati di jalan."

"Siap, Om. Terima kasih banyak." Galen berucap seraya menyalimi kembali tangan Ardian dan memperhatikan Ardian yang perlahan menghilang.

Perempuan itu anakmu, Om, batin Galen menjerit.

*****

Galen berhenti di sebuah rumah minimalis bercat putih abu-abu. Galen menatapnya lekat. Ada sedikit ragu dihatinya, ia takut kalau gadis itu tidak suka dengan camilan yang ia beli. Takut jika gadis itu menolak pemberiannya.

Berkali-kali Galen menghembuskan napasnya mencoba untuk tetap rileks menghadapi Kalea nantinya. Lantas ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi gadis itu.

Galen
Kal?
dmn?

Kalea
Kenapa, Gal?
Di rumah

Galen
Gue di depan
Bisa turun?

Kalea
Depan rumah gue?

Galen
Hm

Kalea yang mendapati pesan dari Galen segera melangkahkan kaki menuju jendela. Dari jendelanya ia bisa melihat sosok Galen yang tengah berdiri seraya fokus memperhatikan ponselnya. Bisa ia duga kalau Galen sedang menatap room chat dengannya.

Kalea pun menyambar jaketnya asal dan segera turun untuk menemui lelaki itu. Sesampainya di depan pagar, Kalea terperangah saat sebuah plastik putih besar disodorkan ke arahnya.

"Ini apa?" Kalea mengernyit bingung.

"Buat lo, Kal," jawab Galen seraya menatap lekat wajah Kalea.

Dengan ragu-ragu Kalea menerimanya. "Seriusan buat gue?"

"Hm."

"Dalam rangka?"

Galen terdiam sejenak. Sedetik kemudian ia berkata, "Mengambil hati Kalea," jawabnya lugas.

Detak jantung Kalea lagi-lagi berdetak lebih cepat dari biasanya, "Jayus banget," katanya seraya terkekeh untuk menutupi kegugupannya.

Galen mengulum senyumnya, "Katanya salah satu cara ngambil perhatian perempuan itu dengan membelikan dia makanan."

"Kata siapa?"

"Kata gue barusan."

Kalea terkekeh, "Emang lo tau makanan kesukaan gue apa?"

Galen menggeleng. "Nggak tau."

"Kalau nggak tau, berarti gagal."

Galen lantas membuka ponselnya dan menatap Kalea. "Apa makanan kesukaan lo? Biar gue catat."

"Untuk apa?"

"Biar gue bawain besok."

Kalea mengulum senyumnya. Tak bisa disangkal bahwa kali ini ia merasa benar-benar terbang ke luar angkasa. Kalea lantas berpikir sejenak, terlalu banyak makanan yang ia sukai sampai-sampai ia bingung sendiri. "Gue suka roti srikaya," jawabnya.

Galen mengetikan sesuatu di layar ponselnya. Setelahnya, ia kembali menatap Kalea. "Udah gue catat. Besok gue bawain."

"Request sedikit, Pak. Kalau bisa roti srikaya-nya dibuat sendiri, ya. Jangan beli."

"Sesuai pesanan, Mbak."

Lalu keduanya pun tertawa. Menertawakan hal-hal receh yang baru saja mereka bicarakan.

"Gue pamit ya, Kal." Galen berucap seraya bersiap untuk menaiki kendaraannya.

Kalea mengernyit, "Lho? Nggak masuk dulu?"

Galen menggeleng. "Kapan-kapan aja." Galen lantas menaiki kendaraannya dan memakai helm untuk melindungi kepalanya.

"Hati-hati, Galen." Kalea berujar dengan senyuman manis yang terpatri di wajahnya.

"Kal," panggil Galen.

"Iya?"

"Soal perkataan gue waktu di rumah pohon, itu gue serius."

Kalea menahan senyumnya seraya mengangguk.

"Boleh?"

Dengan malu-malu Kalea kembali mengangguk. "Boleh," jawabnya tersenyum.

Galen mengangkat tangan kirinya untuk mengacak-acak puncak kepala Kalea. "Gemes."



Bersambung



Jakarta, 12 Januari 2024

GALENDRA [TERBIT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang