Part 19

39 13 3
                                    

Kalea menatap camilan di hadapannya. Terdapat berbagai macam ciki, biskuit, dan minuman kesukaannya. Entah tau dari mana cowok itu hingga dapat membelikan camilan kesukaan Kalea.

Kalea tersenyum. Baru kali ini ada yang ingin mendekatinya seterbuka itu. Biasanya, banyak lelaki yang mendekatinya secara diam-diam tanpa bilang seperti Galendra.

"AAAAAA." Kalea berjerit seraya mengambil bantal dan menenggelamkan kepalanya di atas bantal.

"Kenapa dia sweet banget? Kalo gini kan gue jadi luluh."

"Cowok manis kayak dia sulit untuk ditolak."

"Emang boleh se-satset itu?"

Setiap kata demi kata keluar dari mulut Kalea. Ada perasaan senang yang hinggap di hatinya. Perasaan senang yang tidak bisa ia jelaskan.

"Kal?" ucap Ardian dari balik pintu kamar.

"Kamu nggak apa-apa? Tadi Papa dengar kamu teriak," katanya lagi.

Kalea membulatkan bola matanya. Ia lantas mengambil posisi duduk dan merapikan seluruh rambutnya yang terlihat acak aduk karena sejak tadi ia terus mengacak-acak frustasi akan ke-manisan sikap seorang Galendra.

"Nggak apa-apa, Pa. Tadi cuma ada cicak terbang aja," jawabnya asal.

Di luar pintu kamar, Ardian mengernyit mendapati jawaban Kalea yang terkesan asal. Namun, saat mengingat bahwa tadi Galen membelikan sesuatu untuk anaknya, ia menjadi ngerti alasan dari anaknya yang teriak-teriak malam ini.

"Cie dikasih apa tuh sama gebetan?" Ardian berteriak meledek.

"PAPA!"

*****

Alfa memasuki sebuah restoran Jepang yang ada di jalan Mahakam. Ia lantas duduk di meja paling ujung dan memesan beberapa makanan yang biasa ia beli. Saat sedang menunggu makanannya datang, Alfa tidak sengaja menangkap satu perempuan yang sudah terlihat menua yang memakai kursi roda. Alfa mengernyit, muka perempuan tua itu seperti tidak asing baginya. Ia seperti ... pernah bertemu dengan perempuan itu.

Sekian lama Alfa memandangi nenek serta pengasuhnya dengan lamat, hingga tiba-tiba datanglah seorang cowok remaja yang menghampiri nenek tersebut. Alfa tau cowok itu. Cowok yang ia temui di halte malam itu. Cowok yang sangat mirip dengan teman lamanya.

Alfa terus saja memperhatikan interaksi keduanya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Kepalanya terus mencoba untuk mengingat siapa sosok nenek tua yang berada di sebelah Galen. Setelah 10 menit, kepingan memori sedikit demi sedikit hadir di kepalanya.

Arunika? batin Alfa.

Arunala baru ingat jika nenek tua itu merupakan Ibu dari anak perempuan yang sempat memiliki masalah dengan temannya. Kasus yang terjadi saat 18 tahun lalu itu membuatnya semakin merasa bersalah. Ia merasa bersalah karena mendukung sahabatnya untuk lari dari tanggung jawab. Dan ia juga salah satu yang turut mengancam Arunika untuk tetap bungkam terhadap kasus tersebut.

"Galen anak Arunika?" monolog Alfa bertanya-tanya.

Shit!

Kalau sampai benar bahwa Galen merupakan anak dari Arunika, akan menambah rasa bersalah di hati seorang Alfa. Pasalnya, Galen merupakan lelaki yang baik baginya. Saat pertemuan pertama mereka kemarin saja ia sudah merasa nyaman dan dekat. Lalu, bagaimana jika lelaki itu tau bahwa ia merupakan salah satu orang jahat yang tega menyuruh Ibu-nya untuk menggugurkan kandungannya—yang berarti membunuh seorang Galendra sejak di perut.

Alfa mengepalkan kedua tangannya. Matanya mulai memanas. Bayang-bayang 18 tahun yang lalu membuatnya sulit untuk menjalani kehidupan yang normal karena terus dihantui rasa bersalah. Akibatnya, ia sempat terkena karma. Setahun pernikahan istrinya keguguran. Lalu kehamilan kedua pun juga keguguran. Dan yang ketiga pun mereka mati-mati an untuk mempertahankan bayi-nya meskipun kondisi bayi itu lemah. Dan itu mampu membuat seorang Alfa rapuh dan merasa hancur.

"Ya tuhan, apa yang sudah kuperbuat dulu?" Alfa berucap seraya mendongakkan kepalanya agar air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya tidak terjatuh.

"Aku sudah dengan tega menyuruh seseorang untuk membunuh anaknya. Dan aku telah menerima karma atas perbuatanku."

"Tapi sangat menyakitkan saat aku tau lelaki yang terlihat rapuh itu merupakan anak Arunika. Semoga ini hanya kebetulan saja."

Kata demi kata Alfa lontarkan dengan bibir yang bergetar.

Tak lama kemudian pesanannya telah datang dan ia pun segera menyantap dengan malas seraya memperhatikan interaksi antara Galen dengan Suni, neneknya. Setelah makan selesai, Alfa lantas pergi dari sana untuk mencari tau apakah Galen benar anak Arunika atau bukan.

*****

"Gimana kalau kita ajak mereka balapan lagi?" usul seorang cowok dengan slayer biru dongker yang terikat di lehernya. Cowok itu bernama Ares.

Jevan yang mendapatkan usul itu tidak langsung menyetujui. Entah kenapa ada rasa tidak suka saat temannya mengusulkan untuk balapan ulang bersama anggota Stargaze.

"Buat apa? Kita udah kalah, Res. Nggak ada lagi alasan buat kita nantang mereka," jawab Jevan.

Ares tersenyum miring. Di kepalanya terdapat banyak ide yang ingin dia laksanakan agar musuhnya gagal di tempat. "Gue punya ide, Jev."

Jevan menoleh. Keningnya mengernyit bingung menatap Ares. "Maksud lo?"

"Kita ajak Galen balapan. Nanti gue akan suruh seseorang untuk rusakin rem motor Galen. Dengan begitu ... wush, lo akan menang."

Tangan kanan Jevan mengepal. Kali ini ia tidak suka dengan cara curang seperti ini. Itu sudah bukan curang lagi, tapi pembunuhan berencana namanya.

"Gila, lo!" makinya pada Ares. Jevan sungguh tidak habis pikir dengan pemikiran temannya itu.

Ares merangkul pundak Jevan. "Kapan lagi kita bisa menang lawan Galen, bro?"

"Tapi nggak dengan cara tolol kayak gitu. Itu sama aja pembunuhan rencana, goblok!"

Ares tertawa. "Bukannya itu yang lo mau? Galendra mati?" tanyanya tersenyum miring.

Mendengarnya membuat emosi seorang Jevan memuncak. Jevan lantas memegang kerah baju Ares dan berkata, "Gue emang benci dia, tapi nggak ada sedikitpun di otak gue untuk ngebunuh dia," katanya dengan menatap tajam kedua netra Ares. "Gue ingatin sama lo, jangan pernah bertindak sejauh itu hanya karena kebencian lo, Ares. Hidup lo akan hancur nantinya."

Setelah mengatakannya, Jevan lantas pergi meninggalkan ruangan serba hitam.

Sialan!

Ares lantas menendang kotak-kotak kosong yang ada di ruangan itu. Tangannya sudah mengepal seolah siap untuk menghabisi nyawa seseorang.


Bersambung...



Jakarta, 13 Januari 2024

GALENDRA [TERBIT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang