Bab 19

228 25 10
                                    

"Kamu jaga kudaku."

Baldwin tidak menunggu tanggapan Ubaidah. Dia berbalik dan menghilang di kegelapan malam.

"Suamimu benar-benar sesuatu, Hamziee." gumamnya menggelengkan kepala.
.
.
.
.
.
.

Tiberias bergerak gelisah. Saat dia hendak melaporkan sesuatu kepada Baldwin, tidak ada tanggapan dari dalam kamar.

Alarm darurat dari dalam diri berbunyi dengan kuat. Tiberias mendobrak masuk dan mendapati ruangan itu kosong.

Tiga puluh menit berlalu, dia masih bersikap dengan tenang namun dua jam telah lewat, dia menarik Bailian dan memintanya untuk mencari.

Dia menunggu di depan pintu kamar Baldwin, kalau-kalau orang itu akan muncul, kemudian.

Berapa lama waktu terus berlalu, keduanya tidak juga kembali. Wajah tua Tiberias Semakin bengkok. Kepanikan diwajahnya sangat jelas dan ketika suara langkah berat terdengar, dia segara mengangkat pandangannya ke sumber suara.

Mata Tiberias cerah menemukan Baldwin berjalan ke arahnya dengan santai. "Eoh Ya Tuhan tuan ku! Syukurlah anda telah kembali." Serunya meraih tubuh Baldwin. Mengelilingi beberapa kali untuk memastikan bahwa Rajanya tidak Kehilangan apapun. "Tuanku, orang tua yang rendah ini telah khawatir untuk waktu yang lama. Bagaimana Tuan dapat pergi tanpa saya mengikuti. Tuan, keselamatanmu adalah segalanya. Jika hal-hal menimpamu,demi Tuhan! yang rendah ini tidak dapat di ampuni hingga tujuh kehidupan."

Baldwin memutar matanya. Kebiasaan yang telah dia kutuk saat Hamziee lakukan, benar-benar mencemari otaknya dengan alami. Ketika dia menemukan Tiberias berbicara dengan begitu murah hati, dia mulai kesal dan kesal. Tidak harus begitu berlebihan. Dia hanya pergi beberapa waktu, berjalan-jalan mencari udara yang segar, tetapi orang-orangnya berbicara begitu besar.

"Paman, aku setua ini. Apa yang mungkin bisa menyulitkanku?" keluh Baldwin. "Aku hanya pergi menemui ayah mertua di desa tidak jauh dari sini..."

"Ayah mertua? Yang mulia maksud anda adalah Ayah dari Nyonya Hamziee."

"Siapa lagi menurutmu, ayah mertuaku? Aku menikahi Hamziee bisakah itu menjadi ayah Bailian?"

Tiberias batuk darah mendengar aksen kekesalan Baldwin di setiap semburannya. Dia merasa pria agung ini telah memakan 30 kg cabai dalam sekali telan, kurasa.

Dia hendak membuka mulutnya kembali namun ingatan tentang Bailian yang disebutkan oleh Baldwin menghentikannya. " Tuhanku, aku telah mengerahkan orang-orang Bailian untuk mencarimu, Yang Mulia. "Pekik Tiberias sedikit meninggikan suaranya. " aku... Aku akan pergi dan memintanya menarik pasukan kembali ke barak." Ujar Tiberias membungkuk hormat kepadanya dan pergi.

Baldwin tertegun di depan pintu dengan jiwa yang dipukuli. "Bukankah orang ku semakin kurang ajar dari waktu ke waktu. Hamziee berani menyuruhku dan pria tua ini bahkan tidak menungguku memberi perintah sebelum pergi? Wah! Ini akan membuatku gila." gerutu Baldwin, berbalik memasuki kamar.
.
.
.
.
.
Baldwin mengemas segala hal aneh kedalam ransel Hamziee. Ada juga cemilan- cemilan juga selimut ringan di dalamnya. Pekerjaan dilakukan dengan cermat dan teliti, begitu larut tanpa menghiraukan langkah padat yang mendekatinya..

Pintu terbuka dan menutup lebih cepat. "Raja Baldwin seseorang datang! Kita harus pergi sebelum mereka menemukan kita." Ubaidah tidak memalsukan reaksi panik diwajahnya. Ada keringat dingin di antara pelipis, menjelaskan betapa pria ini ketakutan oleh orang-orang di luar, hanya....

Baldwin berkedip beberapa kali menatap Ubaidah polos.

Ubaidah menatap kaki Baldwin dan menimbang sebelum berjongkok.

"Raja Baldwin, naiklah ke punggungku. Aku akan menggendong mu agar kita tidak tertahan." sela Ubaidah menghentikannya dari protes yang akan di lakukan.

Mata Baldwin masih berkedip liar menatap punggung Ubaidah. "Oh, Ok!" dia tidak menolak. Menginjak punggung Ubaidah dan meletakkan beban pada tubuh kokoh pria itu.

Sekalipun Baldwin tidak tumbuh dengan banyak daging, dia tetap pria dewasa dan ransel penuh barang bergelantung di punggung.

Sudut bibir Baldwin berkedut-kedut. Keduanya kabur dari kamar Baldwin melalui jendela.

Ubaidah bukan pria tanpa kemapuan. Dia sorang prajurit juga. Dibawah kepemimpinan Henry, Ubaidah berkembang dengan kekuatan militer yang tidak main-main. Dia berlari cepat seperti kuda. Membelah sedikit hutan di tengah desa.

Sekitar tiga puluh menit waktu yang mereka butuhkan hingga berdiri tepat di depan Hamziee dan Henry yang berdiri mematung layaknya idiot.

"Abu Ubaidah, apa yang kamu lakukan?" tanya Henry kebingungan.

Ubaidah menurunkan Baldwin menginjak tanah. Dia meraup udara dengan rakus. Berusaha mengisi ruang kosong pada paru-parunya.

"Seseorang datang dan hendak menemukan kami." jelas Ubaidah.

"Jadi?" tanya Henry lagi.

"Saat raja Baldwin Mengambil ransel mu di kamarnya, seseorang datang ke arah kamar raja Baldwin juga, jadi aku bergegas masuk dan membawanya kabur sebelum seseorang menemukannya."

"Oh, Ok! Jadi kamu menyelamatkan Baldwin dari seseorang saat Baldwin berada di kamarnya sendiri. Itu bagus." ujar Henry ingin muntah darah karena menahan tawa.

Sudut bibir Hamziee berkedut. Bajingan Baldwin benar-benar sesuatu.

Melihat Ubaidah mendapatkan sedikit pencerahan, dia tidak tahan. Baldwin berbalik seolah tidak melihat apapun.  Dia menyandarkan pantatnya pada meja kayu sembari menggigit biji melon. Masih ada sisa kedutan di bibir Baldwin. Cemooh terang-terangan terlontar dari kecerahan matanya.

Siapa yang memintanya menyimpan otak konyolnya di dalam kepala, eoh? Apakah aku memintanya menggendongku?

Hamziee mendekatinya. Dia menatap Baldwin dengan curiga. "Kamu sengaja, bukan?"

Alis Baldwin terangkat. "Apa?! Aku tidak melakukan apapun. Dia yang begitu murah hati ingin menggendong raja ini." tidak ingin dituduh oleh istrinya, dengan tidak tahu malu, Baldwin mengelak. 

"Baldwin kamu menjadi semakin tidak tahu malu." sembur Hamziee kesal.

Baldwin mengedikan bahunya dengan santai. Meletakkan ransel dan duduk nyaman di atas kursi dengan biji melon di tangan

Ubaidah masih Kehilangan jiwanya. Dia menatap Baldwin. Tatapannya begitu tenggelam dan wajah seperti dasar panci menghitam. Raja Yerusalem terlahir dengan kulit yang tebal. Bukankah dia tidak Kehilangan cara berbicara? Kenapa dia tidak mengatakan apapun saat dia (Ubaidah) mengendongnya? Dia bisa saja memberitahunya agar aku tidak panik dan melakukan hal-hal konyol. Untuk apa aku menggendongnya hingga nyaris mati kelelahan jika sebenarnya hal itu tidak diperlukan. Itu kamarnya. Baldwin berada di zona miliknya. Jadi... Ubaidah ingin mengumpat dan mengutuk Baldwin karena marah.

"Aaiisshh lupakan. Ayo bekerja. Jangan biarkan anak seseorang menderita lebih serius." sela Henry mengayunkan tangannya di udara.

Hamziee meraih ransel dari meja dengan kasar. Dia menatap jengkel suaminya, Sementara pihak lain begitu nyaman seolah tidak terjadi apapun.
.
.
.
.
.
.
Gadis yang pingsang telah siuman. Dia mengedarkan pandangannya dan bertemu dengan wajah Baldwin sekali lagi. Jiwa itu goyah, ia akan roboh untuk kedua kalinya sebelum geraman dingin terlontar. "Jika kamu berani pingsan aku akan memenggal kepalamu di alun-alun kota!"

Mendengar ancaman Baldwin, gadis tersebut berusaha agar terjaga.

Hamziee menendang tulang kering Baldwin. "Dia hanya seorang gadis. Bisakah kamu bersikap lebih sopan dan lembut." gerutunya menegur Baldwin.

Baldwin mengedikan bahunya dengan acuh tak acuh. "Dia bukan kamu."

Gadis di atas ranjang yang tengah menyesap teh hangat tersedak.

Terlalu banyak makanan anjing. Dan Dia merasakan lemon di hatinya (cemburu). Keburukan wajah Baldwin tidak sesuai dengan kehangatan hatinya.

Flower of my destiny from the 20th eraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang