Khawatir

32 6 0
                                    

“Ini dah jam 16.37 tapi kok Raysa belum pulang ya? Apa ada kerjaan kelompok? apa dia tersesat?atau terjadi sesuatu? haduhh. Gak bisa, gw bakalan jemput dia.”  Panik Vivian.

waktu mengantarkan Raysa sekolah, Vivian sudah memperingatkan Raysa untuk pulang sendiri menggunakan angkot atau kendaraan lainnya. Bukan karena apa, tapi Vivian sengaja melakukan cara ini untuk membiasakan dan memandirikan Raysa.

“Permisi pak, siswa-siswinya udah pada pulang ya?” tanya Vivian pada satpam yang menjaga gerbang sekolah.

“Sudah mbak, sudah lama malahan.”

“Oh, begitu ya. Bapak ngelihat adek saya gak?. Siswi baru yang badannya cukup besar.”

“Saya gak ngelihat tuh mbak.”

“Pak, saya boleh tidak memeriksa kedalam?”

“Duh, buat apa mbak? Paling juga dirumah temannya.”

“Ya melihat adek saya lah pak. DIA SISWI BARU DISINI, dia gak mungkin langsung menemukan teman baru, secara dia susah berbaur.” Kesal Vivian dan menekan beberapa kata, walaupun dia sedikit berbohong. Kenyataannya Raysa itu sangat mudah berbaur dan penuh keceriaan.

“Aduhh, yasudah ayo kita periksa saja.” ucap satpam mengakhiri perdebatan.

“Raysa.”

“Gak bakalan Nemu siapa-siapa mbak. Disini sudah kosong.” ujar satpam

“Toiletnya dimana?”

“Disana mbak, yakali dia kejebak di toilet.” Ucap satpam

“Bapak kok berisik banget sih, mending bantuin saya. Gak guna banget ngoceh.Lagian saya kebelet pipis bukan nyari adeknsaya di toilet.” kesal Vivian sambil berjalan menuju toilet. Tunggu! “Kayaknya saya dengar teriakan seseorang dah,” gumam Vivian dan ternyata di dengar olah pak satpam juga.

“Iya mbak, saya juga dengar suara teriakan.” ucap satpam

“Ayo kita lihat mbak, sepertinya di arah gudang kosong yang ada di belakang deh.” Kata satpam sambil berjalan menuju gudang tersebut.

Dan benar saja, Raysa berada di dalam gudang tersebut. Setelah dibuka langsung saja Vivian memeluk erat badan Raysa dan mengelus punggungnya, tak hanya itu Vivian juga mencium rambut lusuh adiknya itu—Raysa.
Raysa sudah tidak memiliki tenaga lagi, tapi dia bersyukur ada kakaknya yang sudah menemukan dirinya. Terimakasih Tuhan, batin Raysa yang kini tidak sadarkan diri. “AYOO, ANGKAT PAK.” teriak Vivian.

“Maaf mbak, sepertinya saya harus telepon ambulan aja. Tenaga saja gak cukup buat ngangkat adiknya mbak.” jelas satpam

“Ck! Raysa maafkan kakak. KURANG AJAR, siapa yang udah buat kamu kayak gini Ray. Gw gak bakalan diam aja.” hardiknya.


🌎


“Bagaimana kondisi adik saya, dok?”

“Alhamdulilah, kondisinya baik-baik saja. Hanya saja mungkin Raysa sedikit terkejut dan ada beberapa bagian fisiknya yg terluka, sepertinya Raysa mendapatkan kekerasan fisik dari seseorang. Kalau kekerasan fisik seperti ini tidak terlalu membahayakan, karena sedikit yang terluka. Tetapi, saya khawatir dengan psikis dan mentalnya.” jelas dokter yang menangani Raysa

“hm, begitu ya dok.”

“Iya, kalau begitu saya permisi dulu.”

“Ahh iya dok, terimakasih.” ucap Vivian

Kini, Vivian duduk di bangku tepat di sebelah ranjang Raysa. Vivian mengamati wajah sembab adeknya itu, pipi gembulnya yang berwarna kuning langsat berubah menjadi merah keunguan, jidatnya yang sedikit membengkak.
Vivian menangis, siapa? Siapa yang sudah merundung adeknya ini?. Rasa bersalah kini menguasai hati Vivian, andai dirinya menjemput Vivian, andai dirinya tidak menyuruh Raysa pulang sendiri, andai dan andai....

RUANG WAKTU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang