Chris melangkahkan kakinya masuk menuju pintu utama rumahnya yang bisa dibilang cukup jauh dari kota dan letaknya yang ditengah hutan. Jika dipikirkan, banyak menguras waktu untuk sampai di rumah. Biasanya laki-laki itu hanya akan pulang untuk mengurus segala keperluan yang menyangkut gadisnya. Jika tidak, maka ia akan tinggal di apartemen dekat kantornya.
Ketika kakinya menginjak lantai rumahnya, para pelayan sudah berjajar sambil menundukkan kepalanya. Satu persatu pelayan Chris lewati dengan kepala tegak seakan-akan menunjukkan bahwa ialah yang paling berkuasa dalam rumah ini. Para pelayan laki-laki dengan sigap menegakkan badannya dengan kedua tangan yang disamping badannya. Chris sampai diujung pelayan laki-laki, Chris bahkan tidak ingat siapa saja nama para pelayannya. Yang ia butuhkan adalah kerja keras, bukan nama apalagi hingga mengingatnya.
"Dimana Andi?" Andi, nama itu yang pertama kali ditanyakan oleh Chris ketika membuka suara.
"Dia sedang berada di ruang kerjanya, Tuan."
"Panggilkan ia untukku."
"Baik, Tuan." pelayan itu bergegas naik ke lantai atas guna memanggil Andi, kaki tangan Chris. Laki-laki itu berjalan kearah sofa tunggal di ruangan besar yang ia namakan ruang pertemuan. Entah terpikirkan bagaimana Chris menamainya pertemuan, tapi ruangan itu ia gunakan untuk membicarakan banyak hal dengan Andi. Mungkin jika gadisnya sudah berada di rumah ini, ruang pertemuan itu akan berganti nama menjadi ruang keluarga? Chris terkekeh hanya dengan membayangkan suasana rumahnya ketika gadisnya itu sudah berhasil ia dapatkan.
Tampak Andi berjalan menemuinya dari pintu samping, bukan dari pintu utama yang tadi Chris lalui. Ah pelayan pribadinya ini memang dapat diandalkan dengan baik.
"Tuan memanggil saya?" pertanyaan itu keluar ketika Andi selesai membungkuk pada Chris, lalu setelahnya laki-laki jangkung itu kembali menegakkan badannya.
"Duduklah terlebih dahulu, Andi. Mari kita bicarakan ini sebagai seorang teman."
Andi menurut, dengan santai ia berjalan dan duduk disofa yang berhadapan dengan sofa yang diduduki Chris, "Kau ingin membicarakan sejauh mana persiapanmu, kan?" Andi tersenyum, ia sudah tahu betul tabiat tuannya satu ini atau bisa dibilang ia adalah teman sekaligus tuannya.
"Kau sungguh pandai menebak, Andi. Mengapa tidak jadi pesulap saja? Pelayan! Ambilkan kopi untukku dan juga Andi." memang sudah jadi kebiasaan jika Andi dan Chris duduk bersamaan, itu artinya mereka sedang berteman, jadi sudah dipastikan ada kopi sebagai pendamping mereka berbicara.
"Persiapanmu sudah mencapai skala sembilan puluh lima persen, Chris. Kapan kau akan membawanya kemari?" tak lama setelah itu, kopi mereka datang dan setelah meletakkan kopi, pelayan yang bertugas kembali menjalankan pekerjaannya.
"Bagus bagus, aku tidak ingin ada kekurangan apapun meski itu hanya lima persen saja, Andi. Kapan aku akan membawanya? Aku sedang mempertimbangkannya, kau tahu Kinasih, bukan?"
Andi tampak berpikir, Kinasih? Ia seperti pernah mendengarnya tapi entah mengapa tidak bisa mengingatnya. Apa ia pernah bertemu dengan Kinasih sebelumnya?
"Kau tidak usah berpikir terlalu keras, aku akan mempertemukannya denganmu untuk membahas kelanjutan persiapanku. Dia akan membawa Aruna kehadapanku dan aku akan membawanya. Kau penasaran bukan yang mana Aruna?"
Laki-laki itu tersenyum, ah jika dikatakan sejujurnya Andi juga penasaran akan bagaimana wajah dan siapa Aruna sebenarnya. Ia begitu penasaran bagaimana tuannya ini terlalu tergila-gila pada gadis bernama Aruna itu. Bagaimana rupanya?
"Aku sungguh penasaran, Chris. Bagaimana rupa gadis yang kau cintai itu?"
Chris mengambil cangkir kopinya dan meminumnya dengan kaki yang ia silangkan. Sambil tersenyum, "Kau akan terkejut ketika melihatnya, Andi. Dia gadis yang sangat cantik yang pernah aku temui."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bullets
RomanceAruna pikir pertemuannya kembali dengan mantan kekasih sekaligus temannya itu tidak akan menimbulkan bekas apapun. Niat hati hanya ingin menemui sahabatnya yang kebetulan juga mantan dari Chris, mantannya, berujung petaka bagi Aruna. Tatapan cinta y...