PROLOG

1.3K 94 14
                                    

Ruang gelap minim cahaya sudah seperti rumah bagi keseharian ku. Suara teriakan dan bunyi tembakan sudah seperti alunan musik yang selalu menyambut ku. Bau busuk bercampur anyir setumpuk daging tak bernyawa sudah menjadi makan ku tiap harinya.

"Boss, seluruh target sudah dimusnahkan. Menunggu perintah selanjutnya."

Oh, sudah?

"Suruh mereka pergi."

"Lalu bagaimana dengan mayatnya, Boss?"

Itu yang kau permasalahkan?

"Apa mereka membayar untuk mengurus mayat-mayat itu sekalian?"

"T- tidak, Boss.."

"Pintar. Kalau begitu, PERGI! Waktuku terbuang sia-sia meladeni pertanyaan bodoh mu!"

Tersentak seketika mendengar bentakan ku. Pria bertubuh gempal itu tunggang-langgang berlari keluar ruangan.

Bahkan sebelum pintu sempat tertutup, aku bisa melihat kain penutup bagian selangkangannya yang mulai membentuk lingkaran warna lebih gelap dibanding warna asli celananya. Huh, dia ngompol?

Aku heran dengan bagaimana dia lolos sampai berada di posisi saat ini. Tunggu, apa Robert sengaja meloloskan babi penakut itu tanpa seleksi? Selalunya mata tajamnya yang keriput itu tidak pernah salah mencari kandidat.

Selesai dari semua itu, aku melirik jam dinding dengan jarum pendeknya yang sudah menunjuk tepat di angka lima. Aku tidak sangka akan selama ini.

Ku raih kenop pintu besi untuk menutup perbatasan ruangan.

Seketika itu juga, angin tiba-tiba berhembus.

Sring

Dugh

Pats

Dor! Dor!

Rupanya ada penyusup bodoh disini.

Masih ku genggam pistol revolver dengan kedua tangan. Dalam posisi penuh waspada, aku melirik ke sagala arah, mencari keberadaan penyusup itu bersembunyi dimana.

Arah pukul sembilan, siluet manusia tampak diujung mata.

Dor!

Drap drap drap drap!

"Tsk."

Jleb

"Agh!" aku meringis pelan tatkala benda kecil tajam menembus punggung ku dan merobeknya.

Laki-laki berpakaian serba hitam datang lalu terus mendorongnya lebih dalam dan dalam. Tenaganya seperti hanya ada untuk semakin memperkuat tusukan itu dan tak ingin membiarkannya lepas.

Dor!

Tembakan peluru ku lancarkan, mendarat tepat pada bahunya. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa mendengar dengan jelas rintihannya sebelum akhirnya melepaskan genggamannya pada pisau yang masih bersarang di punggung ku.

Aku melompat pergi, menciptakan jarak yang sangat cukup untuk melihat tampangnya yang sedang mengerang kesakitan karena kejadian barusan. Sedangkan aku hanya bisa mengatur napas dikala rasa perih luar biasa merebak di bagian punggung.

Ah, sudah lama sekali. Sensasi menegangkan ini, adrenalin ini ... Sungguh luar biasa. Aku rindu rasa sakit ini.

Kedua sudut mulutku terangkat dengan gembira. Membuat lelaki berpakaian hitam itu seketika mengernyit keheranan.

"Siapa yang mengirim mu kesini, hm?" tanyaku, tak kunjung dibalas. "Ku tanya sekali lagi, siapa yang mengirim mu kesini!"

Dor!

VILLAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang