"Jadi bagaimana kondisinya?"
"Anda tidak perlu khawatir, Tuan Muda. Tuan Muda Ais hanya mengalami luka luar yang tidak terlalu parah dan sedikit luka dalam. Meski begitu, beliau memerlukan masa pulih yang lebih lama karena . . ." dia sejenak menatap Ais iba lalu menghembuskan napas. "Karena luka lama yang belum sepenuhnya sembuh di area-area tertentu. Sedikit infeksi yang membuat Tuan Muda mengalami demam. Namun, tidak perlu khawatir, itu diperkirakan hanya sementara. Selebihnya akan saya beritahukan lebih lanjut melalui surat."
Blaze hanya diam dan mendengarkan. Setelah tabib itu selesai berbicara, dia lalu mengizinkannya undur diri dan beranjak dari ruangan.
Yang tersisa hanya mereka berdua dengan sejenak keheningan.
Suasana sunyi kembali pecah ketika Blaze membuka mulutnya.
"Apa masih ada yang sakit? Punggung? Lengan? Kaki? Badan? Perut?--"
"Tenanglah, Kak. Tidak ada yang sakit. Yah... Mungkin kecuali perutku yang sedikit nye--"
"Apa?!"
"Kak..." Ais menatap datar Kakak kembarnya. Ini sudah kesekian kalinya Blaze merespon secara berlebih.
Oh ayolah, dia tidak se-jompo itu(?)
"Oh- umm, baiklah. Maaf, aku hanya khawatir dengan kondisi mu.." Blaze menunduk dan memain-mainkan kedua jari tangannya seperti anak kecil. Ais jadi sedikit merasa bersalah karena tidak menghargai perhatian Kakaknya.
Namun, dia dengan cepat menepis hal tersebut.
"Baiklah, mungkin karena sudah hanya kita berdua di ruangan ini. Jadi, umm . . . . Bisakah aku menyita waktu Kakak sebentar?" Ais bertanya dengan agak ragu.
Menanggapi hal itu, Blaze dengan cepat menganggukkan kepala dan tersenyum.
"Tentu! Tidak masalah!" sahutnya. "Jadi apa yang kamu perlukan?"
Wajah Ais langsung berubah serius dan menatap langsung ke arah netra sang Kakak dengan sorot yang serupa.
Blaze langsung tahu, Ais pasti ingin membicarakan hal penting mulai detik ini.
"Jadi, kenapa Kakak tiba-tiba baik kepada saya?"
Deg!
Jujur, pertanyaan itu menusuk langsung ke dalam hatinya. Blaze tak bisa pungkiri, dia memang sangat lemah dihadapan saudaranya sendiri.
Perih rasanya dicurigai karena ingin berbagi kasih sayang. Tapi mau gimana lagi? Memang ini salahnya Blaze sendiri.
Seperti katanya sebelum ini; dia memang sudah keterlaluan sejak awal.
'Ah.. dia menggunakan saya, ya?'
"Aku mungkin sudah banyak menyakitimu. Aku tidak pantas--"
"Jawab pertanyaan saya, Kak. Saya hanya perlu jawaban dari pertanyaan itu. Bukan yang lain." tegas Ais, bersinggung mata langsung tanpa berpaling.
Blaze pun menghela napas pendek dan kembali berbicara, "Aku mengalami mimpi."
Hah?
Mimpi?
Dia tidak salah dengar 'kan?
Ais bertanya-tanya dalam benaknya.
Kakaknya yang keras lagi kan batu ini berubah hanya karena sekedar mimpi?
Rasanya tak mungkin untuk seorang Ais yang setia berpikir secara logis ini.
"Anda bercanda?"
"Tidak! Aku tidak bercanda!" kali ini dia memperbaiki posturnya untuk mempertegas apa yang ia katakan. Tak peduli apa itu akan dipercaya atau menjadi bahan gunjingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN
FanfictionBlaze adalah raja yang sangat kejam. Dijuluki sebagai tiran, sebab telah meluluhlantahkan dunia demi untuk ambisinya semata. Tidak hanya tinggal diam, sang pahlawan pun bertekad untuk melawannya. Dibantu oleh rekan dan orang-orang terdekatnya, sang...