20. DIBAWA

229 30 5
                                    

▬▬ VILLAIN ▬▬

.

.

.

.

.

.

.

"M-- Master, cukup, saya menyerah!"

Mendesah pelan---pria yang tengah menggenggam sebilah pedang kayu itu seketika menurunkan kuda-kudanya, menandakan akhir dari latihan.

Sedangkan anak yang tadinya memekik, mencoba bangkit tetapi rasanya sangat sulit.

Ciut, takut, gemetar, ialah kalimat yang menggambarkan kondisi tubuhnya saat ini.

Meski memiliki reputasi sebagai pendidik yang keras, lelaki ini tentu saja masih memiliki hati nurani.

Lagipula latihan ini memang terlalu berat untuk anak seusianya, dia tidak bisa marah begitu saja.

"Tuan Muda, sejauh ini perkembangan Anda telah memenuhi ekspektasi yang saya perkirakan. Namun, kita masih jauh ada di dasar. Saya harap Anda bisa lebih bekerja keras lagi." Lelaki itu---Heimart, segera menyimpan alat latihan tersebut di tempatnya masing-masing.

Namun, meski kelihatan acuh, ia tidak sekejam itu. Dia tetap saja masih mengkhawatirkan Tuan Mudanya ini.

"Tuan Muda, ada apa? Kenapa Anda tidak bangun?"

Anak kecil itu bergeleng lemas. Masih saja diam, tanpa adanya tanda ingin berpindah sedikitpun.

Tidak ada pilihan lain, Heimart pun berlutut demi menyamakan tingginya. "Ada apa, Tuan Muda?"

Sekali lagi, dia menggeleng.

"Apa Anda terluka? Ada yang tergores? Atau Anda merasa tidak enak badan?"

Dengan sabar pria paruh baya ini terus membujuk sang Tuan Muda dengan segala kata-kata lembut, tetapi hasilnya berakhir nihil. Anak itu masih saja merespon dengan jawaban yang sama.

Tentu saja ia dibuat bingung dengan situasi saat ini.

"M-- Master, aku..."

"Tidak apa-apa, Tuan Muda, panggil saja seperti biasa."

Anak itu menelan ludah, ragu. "Paman ... a-- apa Ais sudah berbuat salah? Kenapa Kakak begitu tega memukul Ais?" ucapnya lirih. Matanya tampak berkaca-kaca, seperti akan ada sesuatu yang akan keluar dari sana.

"Memukul Anda?"

Cukup terkejut, tetapi pria itu sembunyikannya selihai mungkin. Seorang Kakak, memukul Adik kembarnya sendiri? Kenapa...

Bukan, bukan anak itu yang bersalah di sini. Dia tidak akan melakukan sesuatu, kecuali telah diajari oleh orang lain.

Ini pasti karena wanita itu.

"Iya, hiks," Lengan si anak terpaksa menggosok air mata yang hendak tumpah, meski itu malah membuat wajahnya semakin basah. "W-- waktu itu, Ais ingin menyapa Kakak seperti biasa. Ta-- tapi-- tapi, Kakak malah memukul Ais sangat keras. Ka-- Kakak bilang, Kakak sangat benci sama Ais, Kakak nggak mau melihat muka Ais, K-- Kakak bilang Ais orang jahat. Kakak nggak mau anggap Ais Adiknya lagii!"

Lalu saat itulah, tangisnya pecah.

Pilu penuh rasa sakit, memenuhi seluruh ruangan yang kosong nan luas ini.

VILLAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang