40. TUNTUTAN

170 23 59
                                    

▬▬ VILLAIN ▬▬

.

.

.

"𝑶𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒌𝒊𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒊𝒃𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒑𝒖𝒕𝒖𝒔𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒕𝒊𝒏𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏, 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝒌𝒂𝒑𝒂𝒏 𝒑𝒖𝒏 𝒅𝒊𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒏𝒊." - 𝑨𝒍𝒊 𝒃𝒊𝒏 𝑨𝒃𝒊 𝑻𝒉𝒂𝒍𝒊𝒃

.

.

.

꧁ 亗 ꧂

Sudah menjadi suatu kebanggaan bagi seorang lelaki Xenebrian untuk berjuang dan berperang di sisi bangsa mereka.

Bukan hanya manusia, Xenebris tidak pernah sekalipun melarang ras lainnya untuk menjadi bagian di antara mereka. Kendati terdiri dari ratusan cabang, mereka tetap setia, dan bersatu dalam keharmonisan.

Dijuluki sebagai bangsa penakluk, Xenebris sendiri telah banyak menorehkan sejarah kejam dan mengerikan di kancah peperangan. Seiring meluasnya pengaruh Xenebris, seiring itu pula lah satu persatu musuh kian bertambah banyak.

Itu sebabnya, tercetuslah aturan ketat mengenai kekuatan pasukan militer. Mereka dilatih untuk dapat bertahan di bawah neraka dunia, seolah-olah Itulah puncak dari segala hal.

Tak heran, bahkan dikala penyaringan pun, kematian adalah hal yang tidak lagi mengejutkan. Seperti kupu-kupu yang hidup hanya sehari, mereka pula tak peduli jika mereka akan mati.

Hidup artinya mengabdi dan mengabdi adalah sebuah kehormatan, sedari dulu, itulah yang tertanam dalam setiap bangsa Xenebrian terhadap pemimpin mereka.

Dengan menjadi bagian dari pasukan, tak lagi bernyawa pun, sudah menjadi suatu kebanggaan.

Hal ini pun terbukti. Sangat banyak pemuda yang mengikuti seleksi akhir untuk menjadi prajurit. Bahkan yang berasal dari pelosok pun, tak luput dalam deretan nama-nama calon para pejuang.

"Kau lihat, Taufan? Itu adalah rekan-rekanmu yang sedang bekerja keras." Blaze melihat dengan bangga para calon perisai daging milik Xenebris yang nantinya akan digunakan di dalam medan laga.

Sempat tidak percaya, Blaze dengan otak yang waras dan logika sehat, sempat berpikir itu hanya cerita yang sengaja dilebih-lebihkan. Mana ada orang-orang waras yang hobi bermain dengan kematian?

Yah... meski setelahnya, ia dibuat tercengang karena hal tersebut memang betul adanya.

Taufan sendiri hanya tertawa kecut. Rasanya ia mulai terbiasa dengan si tuan yang selalu kumat tak kenal tempat. "Jika saya boleh tahu, apa alasan Tuan Blaze tertarik untuk berkunjung ke barak pelatihan kali ini?"

"Apakah kau baru saja bertanya 'nilai' kawan-kawanmu yang hendak aku datangi ini?" tanya Blaze. Sontak membuat Taufan terkejut.

"Sedikitpun tidak, Tuanku," jawabnya jujur. "tetapi hal tersebut tentu tak lepas dari apa yang terbesit di benak saya, dimana para bangsawan biasanya datang hanya pada pembukaan perdana dan akhir puncak acara."

"Oh, begitukah? Kalau begitu aku bukanlah bagian dari para mereka, jadi kau tidak perlu memanggilku 'Tuan', wahai sahabatku, Taufan."

Rangkulan sayang mendarat di antara kedua bahunya. Sederet gigi sang tuan terpampang jelas, bagai tanpa memiliki jarak dengan kedua matanya.

VILLAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang