33. MENGAPA BEGITU?

167 32 37
                                    

▬▬ VILLAIN ▬▬

.

.

.

"𝑨𝒏𝒋𝒊𝒏𝒈 𝒊𝒕𝒖 𝒕𝒆𝒓𝒄𝒆𝒍𝒂 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒔𝒊𝒇𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂, 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒂𝒘𝒂𝒌𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂."

.

.

.

꧁ 亗 ꧂

"Hei. Kenapa kau tidak melawan?"

Pemuda bernetra aquamarine diam-diam tersentak dengan pertanyaan itu. Dia menoleh dan menatap wajah sang Kakak yang memandangi cakrawala.

Terkadang Ais lupa Kakaknya yang liar ini juga mempunyai sisi tenangnya tersendiri.

"Suaramu serak, apa itu efek sering marah-marah?"

"Jangan coba-coba mengalihkan topik." Blaze menyesap teh di cangkirnya dengan wajah kesal. "Setelah hari aku menemukanmu ditindas, aku mulai berpikir, apa ini memang selalu terjadi?"

"Yah. Aku memang sempat ikut melakukan hal itu kepadamu, dan aku sangat menyesal karenanya. Namun, bukan itu yang ingin kubicarakan," lanjutnya, menatap Ais lekat. "Kau sangat kuat, bahkan mungkin melebihi aku."

"Kau tidak sepenuhnya kalah. Dengan perlawananmu terhadap para Zaldanian, membuktikan bahwa---selain dalam hal jumlah---sebenarnya kau itu jauh lebih unggul. Jika saja kau tidak meninggalkan luka pada mereka, mungkin aku akan kalah dalam pertarungan saat itu."

"Kekuatanmu sangat cukup untuk melawan, Ais, dan seharusnya kau bisa menghajar mereka kapan saja. Untuk apa kau berpura-pura lemah, sedang kau sendiri lebih dari mampu untuk membunuh mereka?"

Blaze tidak mengerti.

Tradisi Xenebris sebetulnya tidak jauh berbeda dengan hukum rimba. Yang kuat berkuasa dan yang lemah harus menunduk.

Alasan mengapa hampir semua bangsawan tidak khawatir---apalagi menegur---anak-anak mereka yang menindas satu sama lain, yakni karena adanya tradisi turun-temurun tersebut. Anak ini menindas karena mereka kuat, dan anak itu ditindas karena mereka lemah.

Kekuatan adalah segalanya bagi bangsa ini. Demikian juga, mengapa perkelahian sangat akrab di mata mereka sedari dini.

Maka dari itu, Ais berhak untuk melawan. Mereka yang mulai, lalu kenapa harus dikasihani?

Ais terdiam sejenak setelah mendengar tuturan Kakaknya. "... Siapa kau? Apa yang kau sudah lakukan kepada Kakakku?"

Blaze seketika membanting cangkirnya ke meja. "HEI, AKU SERIUS!" marahnya.

Wajah dongkol Kakaknya benar-benar menjadi hiburan tersendiri bagi si manik biru laut ini. Seperti biasa, tempramental.

Sudah lama sekali Ais tidak melakukan hal ini.

"BERHENTI TERTAWA!" kesal si panas baran, melihat tawa tertahan Adiknya yang menyebalkan.

Tak ingin membuat Blaze kesal lebih jauh lagi, Ais pun berhenti. "Kau sangat berlebihan dalam menilaiku,"

"Kalau benar begitu, bukankah akan jauh lebih baik jika aku saja yang menjadi pewaris tahta?" lanjutnya bercelatuk.

"A--" Blaze terdiam lalu menimbang-nimbang. "Ide bagus!" sokongnya dengan senang hati.

VILLAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang